REPUBLIKA.CO.ID,Sehari menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang jatuh pada Rabu (17/8), Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengadakan kunjungan kerja ke Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdapat sejumlah titik yang disambangi antara lain Kantor Desa Silawan Kecamatan Tasifeto Timur, Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Mota’ain, Atambua, dan lahan pertanian bawang merah tuk-tuk di Desa Fatuketi Kecamatan Kakuluk Mesak.
Menjelang seremoni panen bawang dilakukan, Eko beserta pejabat Kemendes PDTT mengadakan dialog dengan kepala desa dari seluruh Kabupaten Belu. Dalam temuwicara yang dipandu Bupati Belu Willybrodus Lay tersebut, terungkap sejumlah permasalahan yang mengadang keberhasilan program Dana Desa.
Dimulai dari kekhawatiran terhadap kriminalisasi oleh aparat penegak hukum, ketidakmampuan pamong di desa/kelurahan mengelola anggaran yang mencapai Rp 700 juta per tahun hingga minimnya pendamping desa berkualitas. Kepala Desa Nualain Kecamatan Lamaknen Selatan Yohanes M menjelaskan, pada dasarnya, dasar hukum utama dari Dana Desa, yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan kewenangan besar kepada desa untuk melakukan pengaturan sesuai kewenangan masing-masing.
“Tapi, kami di desa merasa kewenangan kami terbatas,” ujarnya. Menurut Yohanes, seyogianya dana desa bisa digunakan untuk mengintervensi sejumlah permasalahan yang mengganggu aspek-aspek kehidupan masyarakat.
Sebagai contoh dari sisi pendidikan, pemerintah desa hanya dapat mengintervensi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan taman kanak-kanak (TK). Sebab, pendidikan sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) menjadi kewenangan pemerintah kabupaten hingga provinsi.
“Mungkin dari APBD/APBN bisa diintervensi. Yang sisa bisa diintervensi dana desa,” kata Yohanes. Lain Yohanes, lain lagi permasalahan yang dilontarkan Hermanus M, Kepala Desa Tesa Kecamatan Laen Manen.
Menurut Hermanus, sejak dilaksanakan tahun lalu, alokasi dana desa yang sedemikian besar tak pelak menghadirkan keterkejutan pamong di desa. “Sejujurnya kami tidak siap,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Hermanus, kepala desa memiliki latar belakang pendidikan yang beragam. Tidak semua mahfum terhadap pengelolaan anggaran negara.
Kendala lain dari sisi pendamping desa. Hermanus menceritakan, kapasitas pendamping desa kerap kali tidak sesuai harapan. “Akhirnya, mereka benar-benar hanya mendampingi kami. Duduk di samping kami. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya seraya disambut gelak tawa seluruh hadirin.
Selain itu, menurut Hermanus, janji pemerintah untuk mewujudkan satu pendamping satu desa belum terwujud. Di Kecamatan Laen Manen, satu pendamping bahkan harus melayani empat hingga lima desa.
Banyak kekurangan
Menanggapi keluhan para kepala desa, Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo mengakui program dana desa masih banyak kekurangan. “Karena ini program baru, maka saya butuh masukan agar program ini semakin baik ke depannya,” katanya.
Secara khusus, Eko menegaskan agar pamong di desa tidak perlu khawatir dikriminalisasi. Sebab, Kemendes PDTT telah menjalin kerja sama dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.
“Tidak akan dikriminalisasi kecuali kalau memang menyelewengkan,” ujarnya. Terkait penggunaan dana desa, lanjut Eko, sebenarnya telah ada petunjuk teknis dalam bentuk peraturan Mendes PDTT.
Namun ke depan, Kemendes PDTT akan membagi kebutuhan desa berdasarkan kategori. “Nanti ada 10 pilihan menu. Tinggal dipilih dan jalankan sesuai kebutuhan desa,” kata Eko.
Sementara untuk masalah pendamping desa, Eko mengakui target satu pendamping satu desa belum bisa terpenuhi tahun ini. Kendala utama dari sisi anggaran.
Namun, terdapat solusi lain yang bisa dijalankan desa melalui musyawarah desa. Seperti menunjuk wirausaha sukses di desa atau kecamatan untuk membantu secara informal.
Sebab dari sisi formal tetap harus disediakan pemerintah. “Kualitas pendamping desa terus kita tinjau dengan melibatkan akademisi dari berbagai universitas. Kita akan upayakan agar pendamping desa semakin baik,” ujar Eko.