REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dwikewarganegaraan mantan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjadi catatan buruk pemerintahan Presiden Joko Widodo. PDI Perjuangan menilai ada pihak yang ingin menjebak Presiden Joko Widodo atas terjadinya kasus menteri dengan dwi kewarganegaraan ini.
Namun di sisi lain, pernyataan Arcandra Tahar yang sejak awal enggan mengaku status kewarganegaraannya Amerikanya diperkuat dengan pernyataan para menteri kabinet Jokowi, bahwa Archandra berstatus WNI, ketika awal kasus ini muncul.
Menurut Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Bandung, Muradi, kasus dwi kewarganegaraan Arcandra ini mensinyalir bahwa Presiden Joko Widodo dan Arcandra sama-sama dijebak. Sebab ia yakin pasti ada pihak yang dengan sengaja meloloskan proses penyaringan terhadap Arcandra.
Di lain sisi, menurut dia, ada orang yang membawa nama Arcandra untuk diajukan kepada presiden langsung, dengan alasan orang baru yang tidak terkait dengan para mafia energi di Tanah Air.
"Presiden butuh orang baru yang tidak terlibat sama sekali dalam mafia energi, tapi kemudian muncul nama Arcandra Tahar yang disodorkan orang dekat yang dianggap memiliki kualifikasi ahli pertambangan dan energi," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (17/8).
Muradi menilai memang ada hal yang tidak diperhitungkan Arcandra Tahar, yaitu aturan legal formal kewarganegaraan. Merasa mendapatkan rekomendasi dari orang kuat dari lingkaran Jokowi, menurut dia, Arcandra tidak memperhitungkan dwikewarganegaraan tersebut.
Selain itu, kata dia, harusnya ada proses screening dari pihak terkait, seperti intelejen. Sehingga bisa mendeteksi adanya masalah kewarganegaraan Arcandra sebelum dilantik. Dengan screening yang terlewati itu, menurutnya seperti ada sesuatu yang disembunyikan dalam tahapan proses pengangkatan menteri kemarin. Di sisi lain Arcandra Tahar bisa jadi tidak jujur kepada Presiden saat proses akan diangkat menjadi menteri.
"Jadi memang seperti sama-sama dijebak, akhirnya terbungkus oleh ingin berkontribusi lebih di pemerintahan, sedangkan presiden ingin mendapatkan orang ahli yang tidak terikat dengan mafia energi di Indonesia," ujarnya.