Selasa 16 Aug 2016 23:24 WIB

'Nasionalisme Itu Bukan Barang Jadi'

 Pendaki mengibarkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya saat merayakan HUT RI ke-69 di puncak Gunung Prau kawasan datran tinggi Dieng Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah, Ahad (17/8).  (Antara/Anis Efizudin)
Pendaki mengibarkan bendera merah putih sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya saat merayakan HUT RI ke-69 di puncak Gunung Prau kawasan datran tinggi Dieng Kejajar, Wonosobo, Jawa Tengah, Ahad (17/8). (Antara/Anis Efizudin)

REPUBLIKA.CO.ID, MAGELANG -- Nasionalisme harus terus menerus dihidupkan secara bersama-sama, terutama kalangan generasi muda, karena semangat itu ada dalam hati dan pikiran. Hal itu diungkapka sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Baskara T Wardaya.

"Nasionalisme itu bukan barang jadi, tetapi harus terus dihidupkan, dibangun bersama, tidak bisa seakan-anak sudah ada seperti wilayah. Nasionalisme itu di hati, di pikiran, dan itu harus kita bangun terus dan itu harus bersama-sama," katanya di Magelang, Selasa (16/8) malam.

Ia mengatakan hal itu usai menjadi salah satu nara sumber Sarasehan Sejarah Peringatan HUT Ke-71 Republik Indonesia yang diselenggarakan Kelompok Orang Muda Katolik Paroki Santo Ignatius Kota Magelang, Jawa Tengah. Dua narasumber lainnya pada acara itu, yakni Stefanus Soehendro (pejuang kemerdekaan) dan Chandra Gusta Wisnuwardana (pegiat Komunitas Sejarah Magelang Kembali).

Menurut dia, generasi muda sekarang perlu mempelajari sejarah Indonesia, terutama bagaimana kemerdekaan RI itu diperoleh yang bukan sebagai hadiah, namun diperjuangkan dengan keringat, darah, dan air mata. "Kalau ndak memahami sejarah nanti repot. 'Starting point-nya' beda kalau ndak memahami sejarah," ujarnya.

Mereka, ujarnya, juga perlu melihat tantangan dan peluang keindonesiaan sekarang ini, tentang apa dan bagaimana hal itu dihadapi sehingga nasionalisme itu riil dan bukan menjadi bayangan.

"Apa itu, maksudnya pengaruh asing kan begitu kuat karena zaman globalisasi, internet dan sebagainya. Kalau tidak memahami sejarah, semua akan masuk.

Tetapi kalau kita tahu sejarah lalu kita hati-hati terhadap pengaruh dari luar, dari kapitalisme, kadang-kadang juga dari agama, yang kadang-kadang antipancasila dan sebagainya, yang berkedok Pancasila tetapi sebetulnya antipancasila. Itu semua harus kita hadapi," katanya.

Ia mengemukakan pemuda selain menjadi tumpuan memperkuat nasionalisme tetapi juga kelompok rentan terhadap tantangan nasionalisme era sekarang.

Ia juga mengemukakan pentingnya mendefinisikan apa sebenarnya tantangan, misalnya yang ekstrem tentang kelompok-kelompok antipancasila, tetapi juga konsumerisme, penjarahan hutan, berbagai sumber daya alam Indonesia.

Baskoro menyebut pemuda selain sebagai kelompok rentan, namun juga memiliki kekuatan untuk membangun bangsa dan negara. Mereka sebagai kelompok rentan, karena zaman sekarang pemuda diekspose, dibanjiri informasi, dan banyak mendapat pengaruh luar yang belum tentu sesuai dengan semangat keindonesiaan.

Akan tetapi, katanya, mereka juga ada yang memiliki kekuatan dan mampu bertahan menghadapi tantangan global, yakni anak-anak muda yang kreatif dan cinta Tanah Air.

Dalam sejarah Indonesia modern, katanya, pemuda berperan di "garis depan", seperti saat berdiri Boedi Oetomo, era Soekarno-Hatta, naiknya Soeharto juga didukung pemuda meskipun ternyata disponsori "orang lain" untuk menjatuhkan Soekarno, serta lahirnya reformasi yang juga dipelopori pemuda.

Ia menyebut nasionalisme sebagai hal yang riil dengan tantangan yang secara bersama-sama dihadapi. "Dari situ nanti nasionalisme itu menjadi riil, bukan hanya menjadi bayangan, tetapi sesuatu yg dihadapi bersama. Bagaimana kita bersama-sama sebagai bangsa menghadapi tantangan-tantangan itu. Saya kira, itu nasionalisme bisa tumbuh," katanya.

Ia menjelaskan tantangan membangun nasionalisme sebagai hal yang jelas pada masa lalu, saat perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan RI, yakni melawan penjajahan bangsa lain.

Akan tetapi, katanya, ancaman nasionalisme pada saat ini lebih plural dan banyak, sehingga tidak bisa dihadapi secara individual dan harus didefinisikan tentang hal mana yang harus dihadapi terlebih dahulu.

"Misalnya masuknya modal asing yang membuat Bangsa Indonesia sekadar pasar, artinya kita harus mendidik orang-orang muda menjadi produser, bukan 'consumer'. Kalau sekarang ada kebakaran hutan untuk sawit, bagaimana kita menyadarkan bahwa itu hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil orang, tetapi merugikan banyak orang. Soal emas di Papua, bagaimana kita punya ahli-ahli yang sebenarnya bisa mengambil alih dan mengelola itu," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement