REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meminta pemerintah daerah menggunakan kewenangannya menggugat pihak pelaku kejahatan lingkungan hidup terutama berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. "Kasus kebakaran hutan dan lahan masih terus berlangsung dan itu berdampak negatif yang cukup luas sehingga perlu tindakan tegas bagi pelakunya. Jadi pemda harus menggunakan kewenangannya untuk menggugat pelaku," kata Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridha Sani, Senin (15/8).
Menurut dia, kasus kasus pengrusakan lingkungan terjadi di tingkat daerah, namun sayangnya justru pemda tidak pernah menjadi penggugatnya. Padahal kewenangannya untuk menggugat itu ada sesuai Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH). Rasio Ridha Sani menjelaskan, dalam UU PLH itu disebutkan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan kehutanan mempunyai otoritas dan kewenangan yang sama dengan pusat untuk aktif menangani kasus-kasus lingkungan hidup.
"Jadi mengacu pada UU PLH itu sudah seharusnya pemda aktif menangani kasus terkait lingkungan," katanya.
Hingga saat ini, ujar dia, kasus lingkungan hidup dan kehutanan pada umumnya ditangani di tingkat pusat dan ada beberapa gugatan yang dimenangkan oleh pemerintah. Pada 2015, khusus kebakaran hutan dan lahan ada 27 kasus yang digugat KLHK dengan putusan tiga perusahaan dicabut izinnya, 16 mendapat sanksi pembekuan izin, dan delapan lainnya divonis harus memperbaiki seluruh peralatan di lokasi untuk menghindari terjadi kebakaran hutan dan lahan. Sementara 115 perusahaan lainnya yang digugat KLHK juga sudah mendapatkan peringatan.
"Masih ada kasus lain yang sedang dalam proses hukum yang semuanya dengan penggugat KLHK," katanya.
Ia memberi contoh, ada tergugat PT Sago Prima Pratama JResources Nusantara di Kalimantan Utara yang diharuskan membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 300 miliar guna biaya pemulihan lingkungan Rp1,70 triliun dan PT Jatim Jaya Perkasa di Jakarta Utara dituntut membayar biaya ganti rugi guna pemulihan lahan sebesar Rp 460 miliar.
"KLHK akan terus menggugat pelaku pengrusak lingkungan, seperti dewasa ini sedang disiapkan empat kasus gugatan perdata yang pada umumnya berlokasi di Sumatera dengan kasus terbanyak berupa lahan sawit," katanya.
Ketua Pokja Lingkungan Hidup Nasional (LHN) Mahkamah Agung Takdir Rahmadi menyebutkan, kurang agresifnya pemda menggugat, menjadi salah satu menjadi kelemahan gugatan kasus lingkungan hidup yang dilakukan pemerintah pusat yakni KLHK. Rata-rata yang menggugat adalah pemerintah pusat. Padahal kebakaran lahan dan hutan terjadi di daerah.
Ia menyebutkan, pemda atau pemerintah pusat juga sering di posisi lemah dalam gugatan khususnya menyangkut soal pembuktian yang kuat. Dia mengungkapkan, dewasa ini gugatan terbanyak soal kebakaran hutan dan lahan terjadi di Sumatera dan Kalimantan, sementara di Jawa didominasi oleh brown issue seperti pencemaran industri. Ia juga mengakui, salah satu kendala dalam penegakan hukum soal kerusakan lingkungan adalah minimnya hakim yang memiliki sertifikasi di kasus pengrusakan lingkungan.