REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kotak amal yang difungsikan sebagai penampung sobekan kertas tiket KRL kini tak ada di stasiun-stasiun. Tak ada lagi pula banjir penumpang yang menyerahkan tiket bersamaan kepada petugas. Kotak-kotak itu berganti gerbang-gerbang logam berpemindai dengan tinggi sepinggang. Semua penumpang harus memiliki tiket jika hendak naik KRL Commuter Line.
''Dulu saya sering protes, pintu stasiun banyak jalan tikus sehingga banyak penumpang tanpa tiket bisa masuk,'' ungkap Iing Suratman, pengguna setia KRL Commuter Line kepada Republika.co.id, belum lama ini.
Iing bahkan pernah bereksperimen untuk mengkonfirmasi onggarnya pemeriksaan tiket di stasiun. Saat itu tiket KRL masih berupa tiket dan abodemen kertas yang diperiksa manual oleh petugas. Eksperimen itu sukses karena pria yang bekerja di kawasan Kuningan, Jakarta itu berhasil lolos tanpa harus menunjukkan tiket.
Belakangan, rasa keadilan sebagai pemilik tiket sah atas para penumpang gelap akhirnya Iing rasa terpenuhi saat PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) memberlakukan sistem tiket elektronik (e-Tiket). Harga juga disesuaikan jarak, tak ada lagi satu harga untuk semua.
Efisiensi elektronifikasi pun Iing rasakan. Jika dulu setelah sampai tempat tujuan ia harus segera antre membeli tiket pulang agar tak perlu antre lagi di sore hari, sekarang ia bisa cepat masuk dan keluar stasiun menggunakan e-Tiket kartu multitrip (KTM).
''KTM lebih oke, lebih efektif waktu. Saya punya tiga KTM agar tidak antre saat jalan-jalan ke Jakarta bersama anak dan istri menggunakan KRL,'' kata Iing.
Iing menilai sudah seharusnya digitalisasi seperti tiket KRL dilakukan. Apalagi penduduk Indonesia banyak. Membandingkan dengan Uganda, ia menilai elektronifikasi semacam ini di Indonesia memang terlambat. Meski masih banyak pekerjaan rumah tersisa, dia mengatakan dimulainya elektronifikasi ini lebih baik untuk menciptakan sistem yang efektif dan efisien.
Humas PT KCJ Eva Chairunisa mengatakan, elektronifikasi sistem tiket adalah keharusan, terutama di Jabodetabek. Sebelumnya, penumpang KRL tercatat hanya 200 ribu orang per hari. Saat ini penumpang mencapai 800 ribu orang per hari. Dengan target 1,2 juta penumpang per hari pada 2019, katanya, tak mungkin masih mengandalkan tiket manual.
Menurutnya, dengan tiket elektronik, semua transaksi penumpang tercatat. Penumpang juga menjadi lebih tertib karena mereka harus memiliki tiket.
Meski demikian, Eva menilai penggunaan e-Tiket menemui tantangan dalam budaya dan perilaku penumpang. Masyarakat dulu belum terbiasa tertib. ''Dulu penumpang bisa naik di mana saja dan bisa tidak bertiket. PT KAI DAOP I kemudian melakukan revitalisasi transaksi dan stasiun. Dengan e-Tiket, kami lihat semua lebih baik. Bagaimanapun sistem tidak bisa dibohongi,'' kata Eva.
Program elektronifikasi di stasiun KRL Jabodetabek mulai diuji coba pada Mei 2013 dan resmi diberlakuan 1 Juli 2013. Saat itu, keluhan bertubi diterima pihak KCJ. Namun KCJ paham, proses edukasi tetap harus berjalan dan atuan harus dilaksanakan.
Ia bersyukur, dalam waktu tiga tahun penerapan e-Tiket, masyarakat cepat belajar. Pembenahan sistem jadi sentral dalam proses perubahan ini. Di sisi lain, sosialisasi dan edukasi jadi tugas berkelanjutan karena tiap hari selalu ada penumpang baru. KCJ berusaha memaksimalkan penggunaan aneka media mulai dari media tradisional, media sosial, hingga aplikasi daring yang disisipi edukasi selain juga kerja sama dengan komunitas.
Migrasi dari tiket manual ke tiket elekronik menunjukkan hasil, jumlah penumpang bertambah. PT KCJ mencatat, pada 2013 volume penumpang mencapai 431.886 orang per hari. Angka ini meningkat menjadi 566.530 penumpang per hari pada 2014, 705.556 penumpang per hari pada 2015, dan 885.642 penumpang per hari per Juni 2016. Melihat angka ini, KCJ optimistis target 1,2 juta penumpang per hari bisa dicapai sebelum 2019.
Advertisement