REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Regenerasi menjadi kunci sebuah keberhasilan yang berkesinambungan. Untuk cabor bulu tangkis, Indonesia sepertinya tak akan pernah kehabisan pemain berbakat. Sejumlah prestasi yang diraih para pemain ketika masih di kelompok junior, menjadi bukti sahih Indonesia tak pernah kekurangan stok pemain berbakat.
Pengamat bulu tangkis Indonesia Daryadi setuju kalau Indonesia tak pernah kekurangan pemain berbakat. Hanya, kata dia, saat para pemain berbakat ini masuk ke pelatnas, mereka tak mendapatkan jam terbang yang dibutuhkan jika dibandingkan dengan para pemain muda dari negara lainnya.
"Tahun ini kita sudah gagal mendapatkan gelar juara di berbagai turnamen internasional karena kita terlalu lama bergantung kepada pemain senior. Di tunggal putra kita terus bergantung kepada Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie. Sedangkan di ganda putra setelah Kevin (Sanjaya)/Marcus (Gideon) dan Hendra (Setiawan)/(Mohammad) Ahsan, kita tergantung pada Fajar (Alfian)/Rian (Ardianto)," ujar Daryadi dalam perbincangan dengan Republika.co.id, belum lama ini.
Ketika mereka gagal juara, kata Daryadi, tak ada alternatif lain untuk merebut gelar. Sebab, hanya dari para pemain di atas kita berharap prestasi. Padahal, banyak pemain berbakat yang ada di Pelatnas PBSI Cipayung.
Sebenarnya, menurut dia, satu lapisan pemain di bawah Ginting (kelahiran 1996) dan Jonatan (1997) kala itu ada Ikhsan Leonardo Immanuel Rumbay (2000). Ada juga Almarhum Syabda Perkasa Belawa (2001), dan Cristian Adinata (2001). Namun, para pemain pelapis ini tak bisa menembus ke atas. Ia menilai salah satu faktornya adalah jam terbang yang minim.
"Ikhsan Rumbay salah satu harapan di tunggal putra. Saat bermain di kelompok junior, Ikhsan seangkatan dan kerap bersaing dengan Kunlavut Vitidsran (Thailand, lahir 2001), Kodai Naraoka (Jepang/2001), Li Shifeng (China/2000), Lakshya Sen (India/2001). Kunlavut dan yang lainnya mampu bersaing ketika naik ke level senior, tapi tidak dengan Ikhsan," jelas pria yang kerap membawakan acara bulu tangkis di televisi ini.
Daryadi menyebut kegagalan Ikhsan naik di level senior karena pengiriman ke turnamen internasional yang jauh di bawah pemain seperti Kunlavut dan yang lainnya. Daryadi berhitung, dalam satu tahun, Kunlavut bisa bermain minimal dalam 15 turnamen internasional, sedangkan Ikshan kala itu hanya berkisar lima turnamen per tahunnya.