Selasa 16 Aug 2016 05:51 WIB
Merdeka di Era Digital

Bisnis Era Digital: Inovasi Tanpa Henti Sanny Gaddafi 'Jualan' Aplikasi

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nur Aini
Sanny Gaddafi
Foto: Linked in
Sanny Gaddafi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Medio 2000, muda-mudi di Asia dilanda kegemaran yang sama yakni bergaul lewat dunia maya. Kala itu situs media sosial berjuluk Friendster sukses menyihir anak-baru-gedhe alias ABG untuk saling intip profil masing-masing. Tak hanya remaja, kalangan dewasa pun tergiur untuk menjajal media sosial yang lagi booming itu. Tak heran, Friendster sempat merajai penggunaan media sosial pada 2008 dengan jumlah pelanggan mencapai 115 juta orang.

Kisah sukses Friendster saat itu menginspirasi seorang mahasiswa jurusan teknologi informasi di sebuah kampus swasta di Jakarta untuk membuat platform serupa versi lokal. Dia adalah Sanny Gaddafi, yang pada  2004 lalu beride untuk menciptakan Friendster-nya Indonesia. Dengan latar belakangan pendidikan di bidang tekonologi informasi dan sejarah keluarga besar yang kebanyakan berprofesi sebagai wirausaha, Sanny menjajal peruntungan dengan mengembangkan sosial media asli Indonesia bernama Fupei.

Bak gayung bersambut, Fupei banyak diminati pengguna layanan digital di Indonesia. Sejak kemunculannya, Fupei yang sebetulnya merupakan kependekan dari Friends Uniting Program Especially Indonesian, berhasil menjaring puluhan ribu anggota. Bahkan pada 2008, sedikitnya 60 ribu pengguna tercatat memanfaatkan fasilitas bersosialisasi secara daring melalui Fupei.

Jumlah peminat yang lumayan banyak akhirnya mendorong Sanny untuk mengembangkan Fupei secara komersial. Ia berupaya menggandeng sejumlah merek dagang untuk mau memasang iklannya di Fupei. Namun akhirnya dia menyadari bahwa bisnis, terlebih di dunia digital, tak selamanya mulus. Tak ada yang tertarik untuk memasang iklan skala besar di situs media sosial yang ia rintis. Alasannya sederhana, profil pengguna Fupei tidak spesifik.

Sanny kemudian belajar, bahwa suatu produk tertentu memiliki pangsa pasar atau segmen konsumen yang spesifik pula. Pelaku bisnis tentu ingin agar apa yang ia pasarkan bisa langsung menyasar kepada konsumen yang dimaksud. Sanny mengaku sadar tidak bisa memberikan data spesifik mengenai demografi penggunanya. Mencoba menggaet pengiklan di sana sini ternyata tidak membuahkan hasil. Calon pengiklan tetap ingin sasaran pasar yang spesifik. Sanny mengaku, saat itu ia sempat putus asa untuk melanjutkan bisnis digital melalui laman sosial media yang ia buat.

Tak ada penghasilan tetap dari bisnis digital, membuat Sanny mencoba jadi pegawai kantoran. Ia akhirnya melamar di suatu perusahaan manufaktur telepon seluler lokal di Jakarta. Sanny yang sudah dikenal sebagai perintis Fupei, tentu memiliki daya tawar yang menarik. Perusahaan pun tertarik dan mengajak Sannyu ntuk menjajal masa percobaan tiga bulan.

Selama tiga bulan pertama itulah Sanny mengaku bahwa dirinya tak cocok bekerja di kantor dan menajdi karyawan biasa. Jiwanya menolak untuk sekadar duduk di kantor dan menghabiskan waktu di depan komputer. Sanny memutuskan untuk berhenti bekerja di bulan ketiga. Ternyata kantornya menolak desakan Sanny untuk keluar. Sanny lantas diberi kesempatan untuk bekerja di luar kantor.

Ia diberi waktu enam bulan untuk memutuskan mau lanjut bekerja sebagai pegawia tetap atau tidak. Hal yang terjadi berikutnya justru semakin membulatkan tekad Sanny untuk kembali ke jalur bisnis digital. Ia yakin kalau dirinya bisa melakukan lebih banyak hal dibanding sekadar menjadi karyawan perusahaan.

Sanny mengaku masa-masa ini menjadi salah satu masa sulit baginya. Ia dihadapkan pada dua pilihan, berhenti berbisnis digital atau bekerja menjadi pegawai kantor. Ia mengaku bahwa sebetulnya tak ada yang salah dengan menjadi karyawan biasa. Hanya saja, ia merasa ada kemampuannya yang sebetulnya bisa lebih berkembang dengan menjadi seorang pebisnis. Selepas keluar dari perusahaan telekomunikasi, Sanny melanjutkan ide-idenya untuk mengelola bisnis digital.

Pengalaman dalam mengelola Fupei, ia ambil pelajarannya untuk membuat satu platform media sosial yang segmen pasarnya lebih khusus. Sanny akhirnya melirik ke satu segmen yang dinilai sangat prospektif kala itu, perempuan usia 30-an hingga 40-an atau kategori ibu-ibu muda. Keputusannya ini bermula dari permintaan salah satu perusahaan yang dulu enggan beriklan di Fupei. Saat itu calon perusahaan tersebut ingin memasarkan satu merek khusus yang sasaran pasarnya adalah ibu-ibu muda. Jadi lah Sanny meluncurkan bundagaul.com, sebuah media sosial yang bisa menampung anggota ibu-ibu atau perempuan yang telah menikah untuk berkomunitas.

Langkah Sanny ini pun disambut positif oleh pasar. Paling tidak ada 8.000 pengguna tetap yang terus mengakses bundagaul.com untuk berbagi informasi seputar gaya hidup atau problema kewanitaan. Hingga 2010, Sanny menuturkan, bundagaul.com  terbukti lebih menghasilkan uang dibanding media sosial yang ia kelola sebelumnya. Segmen pasar yang lebih terarah dan fitur dalam media sosial yang lebih lengkap membuat pengguna lebih nyaman dan selain itu, iklan pun berdatangan.

Bisnis berlanjut, Sanny kembali menemui kendala. Ketika pengguna semakin banyak dan semakin beragam, ia harus mengembangkan platform media sosialnya ini. Di tahap ini lah Sanny kembali harus memutar otak untuk mempertahankan bisnisnya.

"Dan saat itu saya kesusahan untuk cari partner di Bundagaul karena saya kan bukan bunda-bunda. Dan dari situ mulai banyak masalah yang segmented sekali. Akhirnya saya cari partner susah, akhirnya saya move on," ujar Sanny kepada Republika.co.id, belum lama ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement