REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan teknologi informasi dalam dua dasawarsa terakhir menuntun manusia untuk menciptakan berbagai inovasi. Inovasi ini ternyata tak hanya menciptakan produk baru baru tetapi juga merangsang pemerataan ekonomi lewat skema berbagi atau sharing economy.
Pada 2008 lalu, wirausahawan muda asal Amerika Serikat, Brian Chesky dan dua orang kawannya menginisiasi sebuah platform layanan penyewaan penginapan berbasis aplikasi, Airbnb. Aplikasi daring ini memungkinkan siapa saja yang memiliki ruang, kamar, apartemen, vila, atau bahkan kastil sekalipun bisa untuk menyewakan kepada orang lain yang membutuhkan penginapan. Skema penyewaan seperti ini, dinilai memudahkan masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah yang membutuhkan pelayanan dengan harga lebih rendah dibanding penyewaan kamar atau hotel konvensional yang rata-rata mematok tarif lebih tinggi.
Airbnb mencatat, jaringan penggunanya mengular hingga lebih dari 34 ribu kota di lebih dari 190 negara di dunia. Sehingga tak heran bila per malam tak kurang dari 40 ribu orang memesan layanan penginapan melalui fitur berbasis aplikasi ini.
Sebagai pesaing kuat penyedia jasa penginapan konvensional, Airbnb ternyata terbukti mampu menggerakkan aset-aset masyarakat yang sebelumnya mangkrak. Perusahaan start up ini merilis, di Jepang saja akhir 2015 lalu mereka mampu berkontribusi atas 222 miliar yen Jepang untuk perekonomian nasional dalam setahun. Tak hanya itu, layanan penyewaan penginapan secara daring ini juga membuka kesempatan pekerjaan untuk 21.791 posisi. Belum lagi efek ikutan yang bakal terjadi, seperti turis yang akan menetap lebih lama di kota tujuan wisata dan pada akhirnya meningkatkan perekonomian masyarakat lokal.
"Airbnb sedang tumbuh pesat. Ini fenomena global yang memberikan efek positif untuk perekonomian Jepang," kata Country Manager Airbnb Jepang Yasuyuki Tanabe dalam keterangan resminya.
Hal yang sama juga terjadi di Prancis, di mana Airbnb mencatat kontribusi untuk perekonomian negara sebesar 2,5 miliar Euro dalam setahun dan menyediakan 13.300 posisi baru untuk pencari kerja.
Indonesia yang berpenduduk lebih dari 250 juta orang juga dilirik para pemain dalam bisnis aplikasi daring ini. Penduduk Jakarta dan beberapa kota besar lainnya tentu tidak asing dengan layanan oleh Gojek, Grab, atau Uber. Ketiganya memiliki prinsip yang sama yakni dengan menghubungkan antara pemilik motor yang jasanya dipromosikan dengan para konsumen atau penumpang. Kemunculan ketiganya lantas diikuti berbagai bentuk dan inovasi lain terkait jasa antar jemput dengan motor atau mobil pribadi. Mirip dengan Airbnb, layanan transportasi berbasis aplikasi juga memungkinkan pemilik kendaraan pribadi untuk menyewakan jasa angkutan untuk siapapun.
Gojek didirikan sejak 2010 namun baru dikenal secara luas pada 2014. Masyarakat mulai mengenal Gojek hingga peminat layanan transportasi berbasis aplikasi mulai meningkat tajam. Gojek yang memiliki hampir 200 ribu pengojek ini memiliki berbagai layanan selain mengantar penumpang, seperti mengantar makanan, belanja, hingga pengiriman paket. Selama setahun terakhir melayani penumpang, Gojek mencatat telah memroses 20 juta permintaan pemesanan dan pada Juni lalu mencapai 667 ribu pesanan per hari.
Berdasarkan dokumen internal TechCrunch, Gojek memiliki dana tunai sebesar 104 juta dolar AS hingga Maret 2016. Sementara pengeluaran hingga bulan yang sama sebesar 73 juta dolar AS. Pembiayaan ini disebut penting untuk menghadapi persaingan yang tinggi di pasar Indonesia terutama untuk menyubsidi dan pembiayaan pemasaran produk.
Fenomena layanan berbasis aplikasi yang disebutkan di atas memiliki prinsip yang sama, yakni membuka kesempatan bagi siapapun, tak sebatas pemilik modal besar, untuk terlibat dalam proses bisnis. Perusahaan seperti Airbnb, Gojek, dan Grab memfasilitasi konsumen dan pemilik aset dalam wadah aplikasi daring. Melalui aplikasi tersebut kemudian jual-beli bisa dilakukan baik secara daring atau tunai.
Satu penamaan untuk fenomena ini adalah sharing economy atau ekonomi berbagi. Skema memungkinkan satu usaha tidak hanya dijalankan oleh satu perusahaan namun oleh sekelompok individu yang memiliki modal dan aset. Artinya, perusahaan tak perlu membeli aset dan menyiapkan modla baru melainkan cukup memanfaatkan aset yang dimiliki oleh individu-individu yang terlibat dalam bisnis tersebut.
Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyebutkan, teknologi digital memberdayakan masyarakat untuk mengambil pendekatan yang lebih modern terhadap satu ide sederhana, yakni berbagi.
"Kita telah melihat pertumbuhan yang kuat dari bisnis-bisnis yang menghantarkan layanan tanpa memiliki aset tetap, seperti kendaraan, fasilitas dan peralatan. Konsep ‘Sharing Economy’ seperti ini pun sudah mulai diterima oleh masyarakat," ujarnya, belum lama ini.
Sebuah laporan dari Nielsen pada 2014, Nielsen Global Survey of Share Communities, memperlihatkan bahwa 68 persen dari responden global untuk survei ini bersedia untuk berbagi atau menyewakan aset pribadi mereka untuk penghasilan tambahan, dan 66 persen dari responden sangat terbuka untuk memanfaatkan produk atau layanan yang disediakan oleh orang lain dalam sebuah komunitas berbagi.
Ridzki menjelaskan, model berbagi seperti ini menawarkan opsi baru bagi bisnis mau pun pemerintah untuk semakin hemat, selagi meningkatkan persepsi, interaksi dan kepuasan pelanggan dan masyarakat. Produktivitas sering kali menjadi bagian besar dari pertumbuhan ekonomi, dan ia percaya bahwa konsep ‘Sharing Economy’ ini dapat menjadi mesin pendorong pertumbuhan baru, baik untuk bisnis mau pun pemerintah.
"Teknologi kami memungkinkan mitra pengemudi mendapatkan penghasilan lebih selagi meningkatkan produktifitas mereka dengan lebih eisien, dengan memaksimalkan aset pribadi mereka, seperti misalnya kendaraan. Namun tidak hanya sekadar penghasilan, dampak dari peningkatan produktifitas dan efisiensi ini juga turut berdampak pada para pengguna, dan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat secara lebih luas," katanya.