Selasa 09 Aug 2016 09:31 WIB

Menimbang Masa Depan Perawat Indonesia

Red: M Akbar
Syaifoel Hardy
Foto: istimewa
Syaifoel Hardy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syaifoel Hardy (CEO Indonesian Nursing Trainers)

Bulan Agustus ini, usia negeri kita mencapai angka 71 tahun sudah. Sebuah usia manusia yang sudah masuk kategori lanjut usia. Kita mengenalnya sebagai usia yang tidak lagi produktif. Suasananya, sudah terbilang senja. Menikmati masa-masa pensiun, sambil melihat tingkah pola anak cucu tercinta. Itulah rata-rata pekerjaan mereka, kaum lansia.

Seperti halnya profesi keperawatan, tidak bisa disamakan dengan usia kemerdekaan kita. Pembangunan fisik selama 71 tahun, dalam artian infrastruktur, negeri ini boleh dikatakan terlihat megah. Gedung tinggi berserakan tak terhitung jumlahnya di kota-kota. Kita bisa simak berapa jumlah lembaga pendidikan yang berbentuk universitas, sekolah tinggi atau akademi keperawatan di se-antero Indonesia.

Pemerintah sudah kewalahan mengaturnya. Kewalahan karena outcome-nya membludak. Hitungannya sudah mencapai ratusan ribu jiwa, namun tidak mampu memberikan mereka pekerjaan. Tidak seperti gedung-gedung di kota yang mudah diidentifikasi lewat pembagian RT, RW dan kelurahan, tetapi profesional keperawatan ini entah, sudah merambah area kerja ke mana saja.

Profesional keperawatan tidak bisa dibendung idealisme atau cita-citanya. Meski selama kuliah digembar-gemborkan tentang masa depan profesi gemilang dan mulia ini dengan membantu menyelamatkan jiwa manusia, namun kenyataannya tidak sedikit yang akhirnya memilih dunia usaha hingga perbankan. Semua itu dilakukan sebagai penyelamat masa depan hidup mereka. Itulah kondisi nyata perawat kita.

Perawat, mereka secara fisik barangkali bisa kita kendalikan. Dibuat regulasi atau aturan tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka kerjakan. Tetapi gerak terjang perawat kurang lebih sama dengan profesi apapun yang ada di dunia. Dengan meluasnya akses komunikasi global, perawat menikmati pula dampaknya. Bahwa kebebasan berekspresi, nyatanya tidak mampu dibendung oleh sempitnya tembok rumah sakit, Puskesmas atau Balai Kesehatan.

Apalagi ditambah dengan kenyataan sulitnya mencari lapangan kerja dengan penghasilan yang sepadan. Walaupun tidak ada gembar-gembor demo menuntut penghasilan setimpal dari perawat kita seperti yang pernah terjadi di India, pada dasarnya, sebagai manusia biasa perawat juga bisa ‘berontak’. Menuntut persamaan hak professional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement