Ahad 07 Aug 2016 15:47 WIB

Merasa Dieksploitasi, Asosiasi Pilot Lion Group Datangi LBH Jakarta

Rep: Mabruroh/ Red: Bayu Hermawan
Pilot dan kopilot dalam kokpit pesawat (ilustrasi).
Pilot dan kopilot dalam kokpit pesawat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Pekerja Asosiasi Pilot Lion Group (SP-APLG) mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. SP APLG menuding perusahaan tempat mereka bekerja telah mengekspolitasi karyawannya, karena para pilot harus bekerja lebih lama dari jam kerja yang ditentukan.

"Lion Air menganut CSR, standar internasional. Sehari sembilan jam, seminggu 30 jam. Kalau melebihi itu pernah, ada yang 22 jam dalam sehari," ujar Anggota Serikat Kerja Asosiasi Pilot Lion Group (SP-APLG), Mario di Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta Pusat, Ahad (7/8).

Mario mengaku ia telah menjadi pilot selama sepuluh tahun di Lion Air. Sedangkan temannya Hasan Basri telah tiga tahun dan ketua SP APLG, Eky Adriansyah sembilan tahun menjadi pilot.

Menurutnya sering kali jadwal libur para pilot dipaksa untuk diganti. Sehingga waktu yang misalnya sudah ada janji dengan keluarga harus mereka relakan untuk kembali bekerja.

"Hari libur kami terpaksa diminta untuk bekerja. Menurut mereka libur itu pemberian, bukan hak," katanya.

Anggota SP APLG, Hasan Basri mengatakan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk jenis pekerjaan yang sekali selesai atau sifatnya sementara (tiga tahun), pekerjaan yang sifatnya musiman.

"Sedangkan pilot jelas tidak memenuhi semua kriteria dibatas," ujar Hasan.

Sehingga kata dia jelas status pilot yang bekerja di Lion Air selamanya menjadi karyawan kontrak itu jelas telah melanggar UU Ketenagakerjaan. Namun bila ingin mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir, mereka dikenakan pinalti Rp 500 juta hingga miliaran rupiah.  

"Tidak jelas apa dan bagaimana tolok ukur penghitungannya. Kontrak ini yang ujungnya digunakan managemen Lion Air untuk menyandera sekaligus mengeksploitasi pilotnya," tegasnya.

Memang kata dia mungkin waktu masih baru atau waktu masih lulus SMA, atau usai menjalani rangkaian tes masuk masih tidak paham dan mengerti perihal kontrak kerja itu. Sehingga hampir semua pilot baru membubuhi tandatangannya karena tidak mengerti UU.

"Dan perusahaan pasti tahu UU ini. Dengan serta merta agar kami kerja ekstra dan UU ini yang menjadi cambuk," katanya.

Ia menilai bahwa praktik manajemen di tubuh Lion air tidak dikelola dengan semestinya. Hak-hak pekerja sering diabaikan, dipaksa bekerja melebihi batas maksimum jam terbang, kebijakan sepihak yang sering kali berubah-ubah dan dilanggar sendiri oleh pihak manajemen, dan kejanggalan pada pada data penghasilan pilot yang dilaporkan pihak manajemen kepada BPJS Ketenagakerjaan, di mana nilainya jauh lebih rendah dari fakta yang ada.

"Hal-hal itu yang memupuk kekecewaan pilot dan terakumulasi pada 10 Mei 2016 di mana para pilot memutuskan untuk menunda terbang karena mental dan Psikis yang terganggu saat itu," katanya lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement