REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menyebutkan Undang-Undang No.15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih memiliki sejumlah kelemahan.
"Karena itu kami mengharapkan pihak-pihak terkait dalam hal ini Pansus dan DPR memperhatikan poin-poin kelemahan dalam perumusan Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme," kata Tito Karnavian dalam paparannya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (6/8).
Menurut dia, beberapa kelemahan tersebut di antaranya adalah tidak adanya poin pencegahan serta tidak adanya rehabilitasi teroris pascamenjalani hukuman. "Selain itu, undang-undang tersebut juga tidak mengakomodasi persoalan Amaliyah dan ISIS, padahal banyak warga Indonesia yang belajar ke luar negeri untuk memperdalam kemampuan memegang senjata dan berjihad," katanya.
Ia mengatakan, undang-undang teroris yang ada saat ini juga memerlukan aturan soal perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) karena kewenangan yang terlalu besar nanti akan menyimpang. Tito meminta pihak-pihak terkait memperhatikan poin-poin tersebut dan dapat mempertimbangkan untuk memasukkan hal-hal yang
cukup penting itu dalam revisi UU Terorisme.
"Undang-Undang No.15 tahun 2003 dahulu dibuat setelah Perpu No.1 tahun 2002, di mana pembentukan UU tersebut karena adanya desakan dalam dan luar negeri pascatragedi bom Bali 2002," katanya.
Tito berharap pihak berwenang dalam merevisi UU No.15 tahun 2003 dapat menyesuaikannya dengan perkembangan terorisme yang ada saat ini.