REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 28 pimpinan Penghayat Aliran Kepercayaan yang memperjuangkan haknya menjadi warga negara Indonesia mengadu ke kantor DPP PDI Perjuangan (PDIP), Jakarta Pusat, Kamis (4/8). Kedatangan mereka disambut Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyando dan Wakil Sekjen Ahmad Basarah.
Koordinator Aliansi Nasional Untuk Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Sjarifudin, yang ikut mendampingi pengaduan tersebut mengklaim, para Penghayat Aliran Kepercayaan selama ini diperlakukan diskriminatif. Menurut dia, negara harusnya melindungi seluruh lapisan masyarakat.
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Amanat konstitusi jelas, namun mengapa begitu banyak perlakuan diskriminatif yang kami terima hanya karena kami bertuhan di luar enam agama yang ditetapkan negara," kata Nia.
Mereka yang menyampaikan aspirasi kepada PDIP, di antaranya Dayak Maratus di Kabupaten Kandangan, Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur, Marapu di Kabupaten Sumba Barat, Jinitua di Kabupaten Sabu Raijua, Wetu Telu dan Bayan di Lombok Utara, Sapto Darmo di Surabaya, Penghayat Semarang, dan Sunda Wiwitan Komunitas Cigugur di Kabupaten Kuningan.
Menanggapi pengaduan itu, Ahmad Basarah, yang juga ketua Fraksi PDIP DPR mengatakan, negara dibangun di atas prinsip Ketuhanan Yang Mahaesa. Prinsip itu, kata dia, diusulkan oleh Sukarno dalam pidato kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945.
Menurut Basarah, Bung Karno menegaskan, Indonesia adalah bangsa yang bertuhan. "Ketuhanan yang berkebudayaan. Ketuhanan yang memberikan keluluasaan untuk menjalankan perintah agama dan keparcayaannya serta sikap saling hormat menghormati," kata Basarah.
Dia menyatakan, DPP PDIP menyadari persoalan aliran kepercayaan pada Tuhan Yang Mahaesa, sudah diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Karena itu, semua regulasi yang mengatur eksistensi agama dan alirankepercayaan harus tertuang dan termaktub dalam pasal-pasal setiap peraturan perundang-undangan demi mewujudkan prinsip kesetaraan warga negara di muka hukum.
"Karena itulah diperlukan dialog dengan pikiran dan hati yang terbuka, tulus dan ikhlas dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok dan golongan dengan nilai-nilai Pancasia sebagai parameternya," jelasnya.