Selasa 02 Aug 2016 06:14 WIB

Cara Masyarakat Daerah Lain Merespons Insiden Tanjung Balai

Rep: Kabul Astuti, Bowo Pribadi/ Red: M.Iqbal
Tim Labfor Polri berada di kawasan Vihara Tri Ratna pascakerusuhan yang terjadi, di Tanjung Balai, Sumatra Utara, Sabtu (30/7).
Foto: Antara/Anton
Tim Labfor Polri berada di kawasan Vihara Tri Ratna pascakerusuhan yang terjadi, di Tanjung Balai, Sumatra Utara, Sabtu (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID,Sejumlah elemen masyarakat di sejumlah daerah merespons insiden Tanjung Balai, Sumatra Utara, melalui beragam cara. Tujuannya sama, yaitu mencegah agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Jawa Barat, menggelar pertemuan solidaritas antar umat beragama dan pernyataan sikap untuk mengantisipasi kejadian berbau SARA, seperti yang terjadi di Tanjung Balai, akhir pekan kemarin. Kepala FKUB Kota Bekasi, Abdul Manan, mengajak seluruh warga masyarakat untuk tetap menjaga kerukunan antarumat beragama di Kota Bekasi.

Kejadian di Tanjung Balai tidak perlu dibesar-besarkan hingga memicu perselisihan di kalangan umat beragama di tempat lain. "Atas kejadian itu, kami sebagai FKUB, merasa perlu untuk segera bertemu dengan para pimpinan umat beragama di Kota Bekasi dalam rangka menyamakan persepsi bahwasanya kejadian di Tanjung Balai itu tidak perlu kita persoalkan. Kita tetap menjaga kerukunan di Kota Bekasi," kata Manan kepada Republika, Senin (1/8).

Menurut Manan, pertemuan dan pernyataan sikap antarumat beragama ini diambil sebagai langkah antisipasi. Situasi di Kota Bekasi masih aman dan kondusif.

Hingga kini, kata Manan, tidak dilaporkan adanya bentuk-bentuk ancaman terhadap umat minoritas. Manan meminta warga untuk tidak mudah terpancing dengan berbagai pemberitaan yang simpang siur di media sosial.

"Kalau toh ada informasi atau medsos yang provokatif, kiranya tidak disikapi secara tergesa-gesa, tapi tetap perlu dikomunikasikan dengan kami," ujar Manan. Acara ini melibatkan berbagai elemen umat beragama, antara lain MUI, NU,  PDM, DDII, PERSIS, FPI, PGIS, Paroki Kranji, Majelis Buddha, pemuka Konghucu, Kementerian Agama Kota Bekasi, didampingi Kasat Intel Polresta Bekasi Kota dan Kesbangpol Kota Bekasi.

Pada hari sebelumnya, anggota kepolisian juga menempatkan personil pengamanan di Klenteng Hok Lay Kiong, Jalan Mayor Oking, Kota Bekasi. Kendati tidak diketahui jumlah pasti, populasi etnis Cina di Kota Bekasi relatif sedikit.

Sebelumnya, kerusuhan berbau SARA meletup di daerah Tanjung Balai, Asahan, Sumatra Utara, pada Jumat (29/7) malam. Sekelompok massa merusak dan membakar sejumlah vihara, klenteng, dan bangunan yayasan sosial. Sejumlah mobil yang berada di dalam vihara juga ikut terbakar.

Dari Semarang, Jawa Tengah, dilaporkan komponen masyarakat Jawa Tengah diingatkan untuk tetap menjaga toleransi dan  keharmonisan antarumat beragama. Selain itu, masyarakat juga diminta jeli dan selektif dalam memanfaatkan media sosial.

Dengan begitu, letupan konflik berbasis SARA akibat pemanfaatan teknologi informasi dapat dihindari dan tidak mengancam keutuhan kehidupan antarumat beragama yang ada di daerah. Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Tengah , KH Kamal Fauzi mengungkapkan, kerukunan umat beragama di Indonesia menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masyarakat.

Karena tidak sedikit, kasus kekerasan terjadi di Indonesia dikarenakan adanya segelintir oknum yang menyelipkan isu-isu SARA sebagai bumbu pemicu pertengkaran kecil. "Seperti yang terjadi di Tanjungbalai baru- baru ini," ujarnya, Senin (1/8).

Kamal pun mengajak pemerintah dan pemuka agama serta masyarakat Jawa Tengah untuk menanamkan pemahaman bahwa kita hidup berdampingan di Indonesia dan saling menjaga perbedaan ini. Sebagai umat beragama, Kamal juga mengingatkan bahwa warga Jawa Tengah harus saling menjaga perbedaan yang ada.

"Berkaitan dengan perusakan tempat ibadah, Kita sebagai orang islam tidak dibenarkan untuk merusak tempat ibadah agama lain," katanya. Apa yang terjadi di Tanjung Balai akhir pekan lalu merupakan sebuah pembelajaran.

Sebab, masyarakat indonesia masih rentan konflik berbasis SARA. Kasus ini menjadi letupan konflik antarumat beragama dikarenakan adanya informasi yang bertebaran dengan cepat dan menjauh dari fakta.

Kamal mengatakan bahwa sebagai masyarakat modern sudah semestinya cerdas dalam memanfaatkan dunia maya. Tidak jarang ada oknum yang membuat sebuah berita hanya untuk memprovokasi dan belum jelas kebenarannya.

Dalam Islam juga diajarkan bahwa pada akhir zaman memang akan banyak fitnah dan Islam juga mengajarkan bagaimana untuk mencari sebuah kebenaran mengenai sebuah informasi atau berita. "Kita harus belajar dari ini supaya kasus seperti Tanjungbalai tidak terulang lagi," katanya.

Mengenai persebaran informasi di dunia maya saat ini, Kamal mengatakan bahwa pemerintah harus bisa menjadi rujukan valid akan informasi yang cepat menyebar melalui dunia maya. Ketika ada indikasi sebuah informasi rentan akan konflik SARA, pemerintah bisa segera mengambil peran untuk mencegah.

"Sehingga pemerintah bersama pengelola media mulai untuk memberitakan yang sesungguhnya, tanpa unsur kepentingan," ujarnya. Terkait kerukunan antar umat beragama juga menjadi butir konsensus yang disepakati para ulama internasional, pada konferensi ulama internasional di Pekalongan.

Dalam butir ketiga konsensus ditegaskan bahwa perbedaan umat dalam warna kulit, ras, dan suku adalah sunnah dari Allah SWT yang diciptakan pada manusia. Salah satu firman Allah menegaskan ‘Di antara tanda- tanda kebesaran Allah, Ia telah menciptakan tujuh lapis langit dan bumi dan perbedaan bahasa kamu dan warna kulitmu. Semua itu adalah tanda- tanda kebesaran bagi Allah, Tuhan alam semesta'.

Hal ini mengandung makna perbedaan ini merupakan keanekaragaman yang memperkaya dan saling menyempurnakan satu sama lain tanpa ada yang dibeda-bedakan dan semua hidup dalam satu Tanah Air. Serta berad di tengah-tengah kebhinekaan dengan semangat persaudaraan, kerja sama, dan saling hormat menghormati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement