REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Organisasi nonpemerintah Human Rights Working Group (HRWG) menyebutkan pemerintah daerah seharusnya bisa lebih aktif mendialogkan permasalahan intoleransi di masyarakat agar tindakan kekerasan seperti yang terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatra Utara, tidak terjadi.
Direktur Eksekutif HRWG Muhammad Hafiz dalam siaran pers, Ahad (31/7), berpendapat kerusuhan berbau suku, ras antargolongan dan agama (SARA) di Tanjung Balai merupakan wujud ketidakmampuan pemerintah daerah dan jajarannya dalam mengatasi perselisihan di tengah masyarakat.
"Adanya ketegangan di antara masyarakat itu suatu hal yang niscaya. Tidak ada yang bisa menghindar. Namun, ketegangan itu harus dicairkan oleh pemerintah melalui forum dialog di antara para pihak," kata dia.
Pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk memastikan kerukunan dan kedamaian kehidupan umat beragama. Segala macam bentuk kekerasan dan intoleransi tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus diproses secara hukum.
Hafiz menegaskan pula bahwa pembakaran dan perusakan rumah ibadah di Tanjung Balai menjadi simbol lemahnya aparat setempat dalam memfasilitasi kehidupan keagamaan.
"Bila masalahnya pada pengeras suara, kita sudah memiliki aturan terkait hal ini, bahkan sudah sejak lama, yaitu Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor Kep/D/101/1978. Belum lama ini, Wapres Jusuf Kalla juga mengingatkan terkait hal ini. Jadi problemnya, aparat di tingkat bawah tidak cukup mampu mengelola keragaman yang ada," kata dia.
Menurut HRWG, ketika terjadi gesekan kecil di masyarakat terkait pengeras suara rumah ibadah, aparat paling bawah harus langsung bertindak untuk mempertemukan warga yang berselisih agar jangan sampai ketegangan justru menjadi kekerasan fisik.
Hafiz berpendapat keseimbangan bermasyarakat yang diharapkan dalam Instruksi Bimas Islam 1978 tersebut tidak diperhatikan oleh aparat, sehingga ada segelintir orang yang memanfaatkan situasi untuk memprovokasi masyarakat.
"Kalau sudah begini, pemerintah harus tegas. Kita bukan bangsa barbar. Para provokator dan pelaku harus dibawa ke jalur hukum. Entah kemudian jalan keluarnya adalah dialog atau ke jalur pidana, yang pasti negara harus menjamin keamanan setiap orang dan kerukunan antarumat beragama," kata dia.
Sebelumnya, kerusuhan massa terjadi di Tanjung Balai, Sumatra Utara, pada Jumat (29/7) malam. Sekelompok massa merusak sejumlah vihara, klenteng dan bangunan yayasan sosial, bahkan delapan unit mobil juga dibakar.
Pihak Polres Tanjung Balai bersama aparat TNI, tokoh masyarakat, dan agama setempat mampu mengendalikan situasi keamanan di lokasi kejadian. Pihak kepolisian menetapkan tujuh warga menjadi tersangka karena melakukan pencurian saat kerusuhan berlangsung.
Ketujuh warga itu adalah MARP (16) warga Jalan Juanda, Adk (21) warga Jalan Juanda, MIL (17) warga jalan Juanda, AAM (18) warga Sei Dua RMH Delen, FF (16) warga Jalan Pepaya, AP (18) warga Rambutan, dan MRM (7) warga Jalan Rambutan.
Seluruh tersangka dikenakan pelanggaran Pasal 363 KUH Pidana tentang Pencurian. Sementara untuk kasus perusakan, pihak kepolisian belum menetapkan tersangka karena masih dalam proses penyelidikan.