Kamis 28 Jul 2016 10:06 WIB

Jokowi, Soeharto, Sri Mulyani, dan 'Teh Botol Sosro IMF'

PM Malaysia Najib Razak di sebelah kiri Presiden JokoWidodo saat Konferensi Asia Afrika medio April 2015 lalu
Foto: antarafoto
PM Malaysia Najib Razak di sebelah kiri Presiden JokoWidodo saat Konferensi Asia Afrika medio April 2015 lalu

REPUBLIKA.CO.ID, Masuknya pakar ekonomi Sri Mulyani Indrawati dalam Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang mengejutkan publik. Pro-kontra sekarang pun terjadi di masyarakat. Di berbagai forum talk show, baik itu di televisi maupun radio, soal ini menjadi perbincangan panas. Bahkan di kalangan politisi parlemen, baik yang dari kelompok yang mendukung pemerintah dan "oposan" terhadap pemerintah banyak pula yang ikut mengkritisi masuknya mantan direktur IMF ini.

Wakil ketua DPR dari partai yang menjadi oposan pemerintah (Partai Gerindra), Fadli Zon, secara terbuka mengakui Sri Mulyani itu memang sosok yang pintar dan mumpuni untuk menangani masalah keuangan di Tanah Air. Tetapi, ia mengaku tetap merasa khawatir.

"Saya lihat menteri keuangan yang baru itu pintar, tapi ada beban masa lalu yang harus diklarifikasi. Jangan sampai ada keuntungan untuk kepentingan asing," kata Fadli.

Senada dengan Fadli, politisi Partai Golkar Mukhammad Misbakhun bersikap sama. Bahkan, dia langsung berkomentar ketika penunjukan Sri Mulyani masih menjadi rumor atau belum diumumkan secara resmi oleh Jokowi. Dia menilai Sri Mulyani sebaiknya berfokus pada jabatannya sebagai direktur pelaksana Bank Dunia.

"Rakyat Indonesia sudah ikhlas Sri Mulyani fokus mengurus Bank Dunia, sehingga selamat dari pertanggungjawaban kasus Century sampai saat ini," kata Misbakhun, di Jakarta, Rabu (27/7). Misbakhun tercatat bersikap sangat kritis kepada Sri Mulyani ketika DPR menggelar Pansus Bank Century.

Memang harus diakui, sebagian rakyat Indonesia masih trauma ketika mendengar kata IMF disebut-sebut kembali. Dalam banyak forum diskusi, ekonom dan mantan menko maritim Rizal Ramli semenjak dulu mengatakan IMF telah melakukan kesalahan di Indonesia. Resep perbaikan ekonomi dari mereka terbukti gagal total.

Uniknya, Presiden Jokowi pada acara peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika di Bandung (22/4/2015), sempat berpidato dengan semangat menggebu-gebu mirip Bung Karno yang antidana asing atau "anti-IMF". Jokowi menyatakan bahwa negara Asia-Afrika tak butuh Bank Dunia dan IMF!

Tak hanya itu, Jokowi di depan para pemimpin negara Afrika dan Asia yang saat itu hadir juga mengatakan Asia-Afrika harus bisa lepas dari ketergantungan pada institusi keuangan global.

"Pandangan yang mengatakan persoalan ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF (International Monetary Fund--Red), dan ADB (Asian Development Bank--Red) adalah pandangan usang yang perlu dibuang," kata Jokowi saat itu.

Tentu saja fakta itu membuat publik bertanya-tanya, sikap mana yang dipegang oleh pemerintahan masa kini? Dengan demikian, wajar bila publik banyak yang menggerutu atas sikap Jokowi yang kini malah menjadikan salah satu petingginya tersebut sebagai salah satu "menteri utamanya".

Pengalaman buruk atas perilaku dan kebijakan IMF juga punya dasar pijakan kuat. Sebab, fakta menjelang lengsernya Presiden Soeharto IMF ikut punya andil besar dalam memasukkan rakyat Indonesia ke dalam kubangan kesengsaraan serta krisis yang imbasnya sampai kini masih terasa itu.

''Pak Harto sempat cukup lama 'bertarung' dengan IMF sebelum akhirnya menyerah dengan bersedia menandatangani perjanjian itu (dengan IMF--Red),'' kata Fuad Bawazier dalam sebuah wawancara dengan Republika.co.id.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement