Rabu 27 Jul 2016 06:22 WIB

Merayakan Kembalinya Sri Mulyani

Red: M.Iqbal
Sri Mulyani (Republika/ Wihdan)
Foto: Republika/ Wihdan
Sri Mulyani (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Muhammad Iqbal (Wartawan Republika)

Selasa, 26 Juli 2016. Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Namun, satu per satu wajah penuh antusias, menginjakkan kakinya di Auditorium Djoko Soetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

Tujuan mereka, yang terdiri dari mahasiswa, dosen, alumni hingga masyarakat umum, hanya satu, yaitu menyaksikan kuliah umum yang dipaparkan oleh Managing Director sekaligus Chief Operating Officer World Bank Sri Mulyani. Tema besar acara mengangkat peran pemuda dalam mewujudkan pembangunan inklusif. Tak ada latar belakang khusus di balik tema tersebut.

Tatkala jarum jam telah melewati pukul 10.00 WIB, sosok nan dinanti pun tiba. Dengan mengenakan atasan batik dipadu rok selutut, Sri pun tiba di ruangan. Sorot mata pengunjung jelas tertuju padanya.

Menanti lontaran ilmu dari tuturannya. Selepas sambutan dari pihak rektorat UI, tiba saatnya Sri berbicara. Ani, sapaan akrabnya, mengawali rangkaian kata dengan menyatakan kebahagiaannya kembali ke kampus UI.

Jika di Amerika Serikat (AS), sebutannya adalah home coming. Apa padanan home coming? Ani menerjemahkannya dengan istilah mudik. Sebuah istilah yang akrab di telinga kita, masyarakat Indonesia.

Wanita kelahiran Bandar Lampung ini kemudian berujar, keberhasilannya hingga menapaki jabatan sebagai salah satu petinggi World Bank, tak dapat dilepas dari pendidikan yang ditempanya di UI. Diterima sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi UI pada 1981, Ani menuntaskan pendidikannya di bidang ilmu ekonomi lima tahun berselang. Setelah itu, jejak langkah pendidikannya berlanjut ke S2 dan S3 University of lllinois Urbana Champaign, U.S.A sampai 1992.   

Kembali ke Tanah Air, Ani aktif sebagai peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) FE UI. Tatkala krisis ekonomi yang mahadahsyat melanda Indonesia, Ani menyaksikannya. Tidak hanya itu, wanita yang kini berusia 53 tahun ini, turut terlibat dari luar.

Selain memberikan sumbang saran kepada pemerintah, peran Ani juga dirasakan media massa. "Saat krisis banyak media yang belum memahami situasi yang sedang terjaga," ujarnya. Dengan inisiatifnya, Ani membuka 'kursus' wartawan dengan tujuan agar pewarta mengetahui dan memahami kondisi kala itu. Beragam data yang identik dengan indikator-indikator makroekonomi dijejalkan.

Bahkan sampai pertanyaaan-pertanyaan yang perlu diajukan kepada para pejabat publik pun turut dijelaskan. Setelah itu, Indonesia pun bertransformasi. Reformasi mengubah secara drastis tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia menjadi negara demokrasi. Indonesia mengubah sistem sentralistik menjadi desentralisasi. Ani menyaksikan semua proses tersebut dengan cermat.

Kiprah moncer sebagai ekonomi kenamaan negeri berujung pada jabatan sebagai menteri keuangan Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono per 2005. Sepak terjang kala menjadi penjaga gawang fiskal rasa-rasanya tak perlu dijabarkan lagi. Namun, takdir berkata lain.

Pada 2010 atau masa jabatan kedua Presiden SBY, Ani harus hengkang. Ibarat bursa transfer pemain di kancah sepak bola Eropa, tantangan lebih besar menanti. Terlepas dari hiruk pikuk maupun isu-isu yang beredar, Ani pindah ke World Bank.

Sebuah institusi keuangan global yang menaungi 189 negara di dunia. Berkantor di Washington DC, Ani paham tugasnya sebagai managing director tidak ringan. Isu pengentasan kemiskinan ektrem di berbagai belahan dunia maupun pemerataan kesejahteraan menjadi fokus World Bank.

Pun halnya seorang Sri Mulyani. Berada di ibu kota AS tidak membuat Ani besar kepala. Keinginannya untuk berdiskusi dengan siapa pun tetap menyala.

Kerap kali, tutur Ani, dirinya menemui sekelompok tamu dari Indonesia. Entah itu pejabat, pegawai negeri sipil, maupun pelajar. Dalam konteks ini mahasiswa yang beroleh beasiswa di Negeri Paman Sam.

"Mereka ingin bertukar pikiran," kata Ani. Dan wanita yang terpilih sebagai menteri keuangan terbaik seantero Asia pada 2006 ini mengakui wawasan mereka sungguh menakjubkan. Namun, terdapat satu pertanyaan yang sering dilontarkan kepadanya.

Apa yang bisa dilakukan agar bisa meraih kesuksesan? "Be Global!," ujar Ani menyampaikan poin perdana. Globalisasi merupakan keniscayaan sejak masa pendiri bangsa hingga kini. Globalisasi memberikan peluang yang sama kepada negara mana pun di dunia.

Negara-negara maju berhasil mereguk kesuksesan lantaran mampu memanfaatkan globalisasi. Begitu pun para pemuda. Jika sukses memanfaatkan kesempatan ini, maka ruang kesuksesan terbuka lebar.

Setelah sukses, Ani mengingatkan kepada pemuda untuk tidak melupakan mereka yang tertinggal. Tingginya ketimpangan jadi tantangan masa kini. Melejitnya perekonomian sebuah negara tidak serta merta menghadirkan pemerataan kue pembangunan.

Ani menaruh perhatian kepada kenaikan rasio gini Indonesia hingga menembus 0,41 per 2014. Sebuah level yang tinggi. Kondisi serupa juga terjadi di Brasil (0,56) maupun negara-negara lainnya.

Menurut Ani, ketimpangan yang terjadi di Indonesia terjadi lantaran hal-hal di luar kuasa mereka yang lemah. Bahkan seorang bayi sejak dia lahir pun berpotensi mengalami kehidupan yang suram jika tidak ditopang fasilitas kesehatan mumpuni. Sebuah situasi yang harus dihadapi.

Selain masalah-masalah serius, Ani juga menceritakan masa-masa kuliahnya di UI. Berbeda dengan mahasiswa sekarang yang sudah dimudahkan dengan berbagai fasilitas seperti internet dan gawai, pada masa silam tidak demikian. Teringat saat masa-masa skripsi, Ani harus bergerak dari Salemba (lokasi kampus FEUI ketika itu) ke Pasar Baru (lokasi kantor Badan Pusat Statistik) demi memperoleh data yang diperlukan.

"Dan data itu difotokopi," ujarnya. Bagaimana dengan sekarang? Ibu dari tiga orang anak ini menilai kemudahan adalah keniscayaan. Untuk data BPS, tinggal diunduh dari laman resmi lembaga tersebut.

Namun, kemudahan informasi, menurut Ani, tidak serta membuat wawasan pemuda kini terbuka. Sebaliknya, wawasan pelajar bisa sempit. Contohnya adalah kecenderungan pemuda membaca hal-hal yang diinginkan, bukan yang tidak diinginkan.

Hingga timbul stereotip. Tanpa konfirmasi. "Sri Mulyani pasti begitu orangnya," kata Ani mencontohkan. Maka, Ani menyarankan agar tukar pandangan demi memahami perbedaan kudu dikedepankan. Tujuannya agar saling memahami.

"It's a hard call," ujarnya. Wajar mengingat tidak mudah untuk berbicara dengan persona yang tidak sependapat. Namun, ini harus dilakukan.

Salah satu poin menarik lain dari paparan Ani berkaitan dengan kebijakan. Menurut Ani, dalam mengambil kebijakan, tidak selalu dihadapkan pada opsi-opsi yang menyenangkan. Ambil contoh, seorang siswa SMA yang baru menuntaskan studi, diterima di UI, ITB, dan UGM.

Pilihan-pilihan yang sulit memang, tapi rasa-rasanya tidak berat. Namun, saat menjadi pejabat publik, situasinya berbeda. Pilihan-pilihan yang ada tidak mengenakkan.

Namun, pil pahit harus ditelan. Sebab, lanjut Ani, kebijakan yang diambil ternyata tidak menyenangkan. Setelah itu, jelaskan sejelas-jelasnya.

"Tunjukkan empati kepada mereka yang terimbas. Tidak harus kebijakan itu menyenangkan semua pihak," kata Ani. Setelah itu, Ani sudi menjalani sesi tanya jawab dengan sejumlah orang yang beruntung.

Pesan-pesan agar para audiens optimistis dengan masa depan Indonesia digelorakan. Sebuah keniscayaan bagi seluruh komponen bangsa dan negara Indonesia. Semoga

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement