Selasa 26 Jul 2016 21:13 WIB

Kasus TKI Bermasalah di Sumut Masih Tinggi

Rep: Issha Harruma/ Red: Israr Itah
Kepala BP3TKI Medan Syahrum.
Foto: bnp2tki
Kepala BP3TKI Medan Syahrum.

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Sebanyak 101 kasus tenaga kerja Indonesia (TKI) dan dua kasus calon TKI terjadi sejak Januari hingga Juni 2016. Jumlah ini merupakan kasus yang ditangani Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Sumatra Utara. 

Kepala BP3TKI Sumut Syahrum mengatakan, kasus tersebut melibatkan 312 orang yang terdiri dari 257 TKI dan 55 calon TKI. Berdasarkan data yang dimiliki BP3TKI Sumut, pada 2016 ini, sebanyak 101 orang TKI bermasalah telah dipulangkan oleh BP3TKI Sumut. TKI bermasalah ini termasuk yang keberangkatannya tidak resmi atau ilegal.

Menurut Syahrum, kondisi geografis Sumut yang dekat dengan semenanjung Malaysia kerap kali dimanfaatkan untuk menyelundupkan TKI. 

"Jalur laut tikus dari Tanjung Balai itu banyak sekali yang bisa dimanfaatkan untuk berangkat ilegal. Tanjung Balai itu terdekat dengan Kuala Lumpur jadi dari provinsi lain juga dimungkinkan untuk lewat sana. Bukan orang Sumut saja yang berangkat secara ilegal dari sana," kata Syahrum saat ditemui Republika.co.id di kantornya, Selasa (26/7).

Syahrum mengatakan, di Sumut, kantong TKI yang paling banyak berada di Medan, Langkat, Deli Serdang, dan Serdang Bedagai. Proses yang lebih mudah dan cepat dibanding jalur resmi membuat jalur ilegal lebih diminati para calon TKI.

"Padahal jalur ilegal lebih mahal dibanding legal. Risiko yang dihadapi pun lebih besar, berangkat dan pulang pakai kapal tongkang, boat, lewat laut bebas," ujar dia.

Untuk mengatasi banyaknya warga Sumut yang berangkat ke Malaysia melalui jalur ilegal, Syahrum mengklaim, pihaknya telah gencar melakukan sosialisasi. Kerja sama dengan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setiap kabupaten/kota terus dilakukan hingga level kelurahan.

"Kami sosialisasikan bagaimana berangkat yang benar, syarat yang harus dipenuhi dan rosiko yang dihadapi kalau berangkat ilegal. Tapi pada akhirnya kembali ke diri masyarakat sendiri apa mau dengar omongan kita. Tahan atau enggak terbujuk rayu," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement