REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Anggapan bahwa gembong teroris Santoso mati syahid adalah kebohongan belaka. Klaim pengikut dan simpatisan Santoso yang didukung pemberitaan media atau situs radikal merupakan bentuk perang opini. Masyarakat diharapkan tidak terjebak dengan propaganda terorisme tersebut dan harus jeli melihat konteks persoalan.
“Ini perang opini melalui media yang dihembuskan kalangan tertentu. Mereka menyebarkan bahwa ada spanduk dukungan yang meriah dari masyarakat dan menyebut Santoso itu syuhada, padahal bukan. Dia teroris,” kata pengamat dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, DR Iswandi Syahputra kepada media, Selasa (26/7).
Seperti diketahui Satuan Tugas Operasi Tinombala gabungan TNI dan Kepolisian RI berhasil melumpuhkan Komandan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah. Santoso tewas dalam baku tembak dengan Satgas Tinombala, dalam hal ini tim Alfa 29 Batalion 515 Jember, di Pegunungan Biru, Desa Tambarana, Poso Pesisir Utara, Poso, Sulawesi Tengah, Senin (18/7) pekan lalu.
Setelah dilakukan dilakukan identifikasi dengan tes DNA, jenazah Santoso langsung dimakamkan keluarganya di Poso. Pada pemakaman itu, simpatisan dan pendukung Santoso mengklaim mati syahid. Klaim itu juga tersebar di media radikal dan media sosial kelompok teroris.
Menurut Iswandi, ini bukan hal baru. Dia mengingatkan bahwa pada tahun 2000-an ketika pelaku bom Bali , Amrozi dihukum mati, beredar dari mulut ke mulut bahwa Amrozi mati syahid, karena bersamaan dengan adanya lafal Allah dalam bahasa Arab di langit, disertai angin yang bertiup ketika pemakaman, dan burung-burung yang berkicau.
“Jadi upaya yang dibuat oleh simpatisan terorisme saat pemakaman Santoso itu bukan untuk pertama kali. Saat Amrozi dihukum mati, mereka juga berupaya demikian, “ kata Iswandi.
“Ini seperti penyakit. Fundamentalisme agama itu bisa menular dan cara menularkannya bisa melalui mitos-mitos seperti ini, awan di langit dan hal-hal tertentu. Bahwa dia adalah syuhada, banyak pengikut yang percaya. Padahal semua itu bohong,” katanya.
Iswandi juga juga menyesalkan kenapa ini dibesar-besarkan oleh para simpatisan terorisme di beberapa media sosial. Menurutnya, ini akan menstimulasi dan menjadi semacam pembenaran dan mengarahkan pembentukan opini tertentu.
“Di situ saya melihat para simpatisannya lihai dengan masalah opini ini. Ditambah, mereka tidak mendapat tempat peliputan yang layak di media massa, maka cara-cara seperti itu dianggap efektif untuk menularkan semangat juang terorisme itu,” katanya.
Dia menganjurkan agar masyarakat lebih jeli melihat konteks persoalan. Media, menurutnya, sebaiknya tidak memberikan ruang yang besar untuk pemberitaan yang mendukung terorisme.
“Ini masalah keberpihakan di konteks kebangsaan. Jika media harus meliput, harus cover both side dan tidak menggiring opini seperti para fans Santoso. Memang kalau tidak meliput, dianggap tidak fair. Tapi jika media melihat masalah ini dalam satu perspektif saja, itu kurang bijak,” kata Iswandi.
Menurutnya, fakta ini menunjukkan bahwa terorisme itu masih ada. Paling tidak, ada simpatisannya. “Terlihat dari realita spanduk dan penyambutan jenazah Santoso di Poso Pesisir,” kata Iswandi. Jadi perjuangan aparat keamanan belum berakhir dengan kematian Santoso.
Sementara itu, Ketua Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), Prof Achmad Satori Ismail berpendapat bahwa hanya Allah SWT yang bisa menentukan, dia mati syahid atau bukan. Dia melihat Santoso adalah orang yang punya kelompok dan merongrong keamanan negara.
“Dalam konteks kebangsaan, seorang warga negara merongrong keamanan negara itu kan tidak baik. Itu sebabnya dia diburu oleh aparat keamanan,” kata Satori.
Menurutnya, bisa saja orang berpendapat bahwa Santoso melawan aparat karena membalas dendam atas kematian saudara-saudaranya. “Itu tidak dibenarkan dalam Islam. Orang meninggal karena balas dendam itu pasti bukan karena Allah,” katanya.