Ahad 24 Jul 2016 16:23 WIB

Pengamat Intelijen Beri Resep Agar Kelompok Santoso Turun Gunung

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Achmad Syalaby
Isteri Santoso, Jumiatun alias Umi Delima dikawal aparat saat akan diperiksa kesehatannya di Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (23/7).
Foto: Antara/Basri Marzuki
Isteri Santoso, Jumiatun alias Umi Delima dikawal aparat saat akan diperiksa kesehatannya di Rumah Sakit Bhayangkara Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (23/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan masalah radikalisme bisa dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang menggunakan soft power, misalnya dengan pendekatan kesejahteraan. Namun ada pula yang menggunakan hard power dengan tindakan represif hingga memakan nyawa atau menewaskan target operasi.

Cara represif ditunjukkan saat aparat menembak pimpinan kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah, Santoso.  "Ini semua harus berdasarkan hasil penyelidikan atas embrio dan faktor determinan terorisme di suatu daerah, dalam hal ini Poso," kata pengamat intelijen Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati kepada Republika.co.id, Ahad (24/7).

Menurut dia, jika memang yang dibutuhkan kelompok Santoso sebenarnya adalah kesejahteraan, maka sangat mungkin mereka mau turun gunung bila dilakukan pendekatan yang sesuai. 

Seperti diberitakan sebelumnya, Santoso tewas ditembak mati Satgas Tibombala. Sisa anggota kelompoknya hingga masih diburu oleh Satgas tersebut. Hanya tinggal 16 orang yang tersisa di hutan Gunung Biru.

Satgas Tinombala menggunakan teknik Attrition Warfare atau yang disebut perang berlarut. Jadi pasukan tersebut tetap berada di hutan selama 24 jam di hutan dan tidak kembali ke barak. Strategi ini sungguh merepotkan sisa kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Apalagi, bahan makanan di hutan juga dihabisi oleh pasukan Tinombala. Mau tidak mau, kelompok ini terdesak dan semakin sulit bergerak.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement