REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menolak rekomendasi dalam keputusan Pengadilan Tribunal Internasional di Den Haag, Belanda. Alasannya karena hukum di Indonesia memiliki aturan tersendiri dalam penanganan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
"Kita tidak terikat dengan masalah itu. Kita punya cara menyelesaikan urusan di negara sendiri," kata Prasetyo di Kejaksaan Agung RI, Jakarta Selatan, Jumat (22/7).
Prasetyo mengaku hingga saat ini masih terus berkoordinasi dengan Komnas HAM untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965. Menurutnya, berkas yang diserahkan tersebut masih belum bisa ditingkatkan statusnya menjadi penyidikan.
"Itu pernah dilakukan evaluasi pak Jampidsus dengan Komnas HAM. Tentunya di sini nantinya masih harus didiskusikan kembali," ujar dia.
Pengembalian berkas tersebut menurutnya sudah pernah dilakukan beberapa kali. Penyidik Tindak Pidana Khusus Kejagung kesulitan melengkapi berkas pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, terutama yang membutuhkan bukti formal atau materil.
"Saya kembalikan kepada mereka (berkas), bisa enggak mereka bantu mencari buktinya. Itu 50 tahun yang lalu, bayangkan, pelaku mungkin tak ada lagi," ujarnya.
Pengadilan Tribunal Internasional di Den Haag, Belanda pada Rabu (20/7), mengatakan negara Indonesia bertanggung jawab atas genosida terhadap anggota dan pendukung Partai Komunis dan pengikut Presiden Sukarno pada 1965-1966. Pengadilan mengatakan pemerintah harus memberikan kompensasi kepada korban dan korban selamat pembunuhan masal tersebut.