Jumat 22 Jul 2016 16:55 WIB

Dari 5.715 Orang Hanya 1 yang Baca Buku

Syahruddin el Fikri, Jurnalis Republika
Foto: Dok.Republika
Syahruddin el Fikri, Jurnalis Republika

Oleh Syahrudddin El-Fikri, Jurnalis Republika, GM Redaksi dan Promosi Republika Penerbit

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan data The United Nation of Education, Social, and Cultural (Unesco) Tahun 2012, jumlah warga masyarakat yang memiliki minat baca hanya 1:1000. Artinya, dari 1000 orang penduduk Indonesia, hanya satu yang memiliki minat baca. Sisanya atau 999 orang, kurang memiliki keinginan untuk membaca.

Dari data tersebut, dari 255 juta jiwa penduduk Indonesia terdapat 255 ribu orang yang suka membaca. Dan sebanyak 252,45 juta jiwa tak ada keinginan untuk membaca. Sungguh sangat memprihatinkan bila melihat angka tersebut. 

Ada perasaan miris, sedih, dan keresahan. Upaya founding father bangsa ini untuk menjadikan Negara Indonesia semakin maju, tampaknya masih jauh dari harapan. Jangankan hendak membandingkan dengan negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS) yang setiap warganya sudah membaca minimal sebanyak tujuh buku dalam setahun, dengan Jepang bahkan Malaysia pun, kita masih jauh. Dalam setahun, sedikitnya masyarakat Jepang membaca tiga hingga empat judul buku baru, sedangkan di Malaysia, warganya paling sedikit satu buku dibaca oleh tiga orang. 

Bagaimana dengan bacaan warga negara Indonesia (WNI)? Mari kita lihat data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) tahun 2015. Dari 711 anggota Ikapi yang aktif, jumlah buku yang diusulkan untuk mendapatkan International Standard Book Number (ISBN) sebanyak 44.128 judul baru. Bila dirata-rata, maka dari 711 penerbit itu hanya menerbitkan sekitar 62 judul per tahun.

Lalu jika itu dibagi kepada seluruh masyarakat yang memiliki minat baca (255 ribu orang), maka jumlahnya satu buku baru dibaca oleh 6-7 orang per tahun. Akan semakin mencengangkan bila jumlah buku baru yang terbit itu dibagi kepada seluruh warga negara Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Yakni, dari 5.715 orang hanya satu yang membaca buku baru. Alangkah menyedihkannya.

Berdasarkan data-data tersebut, maka upaya pendiri bangsa ini untuk mewujudkan generasi yang cerdas sebagaimana yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945, sepertinya makin susah diwujudkan. Pantaslah bila bangsa kita selalu dikecilkan alias kurang dianggap saat berhadapan dengan bangsa-bangsa lain.

Penyair Indonesia yang juga seorang sastrawan, Taufiq Ismail (80 tahun), dalam berbagai kesempatan berbincang dengan penulis, sering mengeluh ketika melihat rendahnya budaya baca generasi bangsa Indonesia. Dahulu, kata Pak Taufiq (demikian saya memanggil beliau), di zaman beliau setiap siswa diminta oleh guru untuk menyelesaikan membaca sekitar empat-lima buku dalam setahun. Itu pun sebagiannya berbahasa Belanda dan Inggris. 

“Lha, sekarang ini, tidak ada kewajiban bagi siswa untuk menyelesaikan membaca buku dalam setahun,” ujarnya. “Saya tidak tahu, siapa yang harus dipersalahkan dalam masalah ini. Para siswa-kah, orang tua, guru, sekolah, mendikbud, atau pemerintah yang tidak mewajibkan para siswa untuk membaca,” ujar pria berusia 80 tahun itu.

Tak hanya membaca, budaya menulis pun juga demikian. Pada tahun 1970-1990-an, para siswa di sekolah masih mendapatkan pelajaran mengarang (menulis berdasarkan imajinasi para siswa). Sekarang ini sudah tak diajarkan para siswa untuk membuat karangan saat di bangku sekolah. Kalau pun ada, itu hanya sebatas tugas akhir (TA), terutama untuk para siswa di sekolah menengah atas (SMA/sederajat). Sementara untuk pelajar sekolah dasar (SD) dan siswa sekolah menengah pertama (SMP), pelajaran mengarang atau mengerjakan tugas akhir tidak ada sama sekali.

Dampak dari hal tersebut, maka dapat kita saksikan sekarang ini. Alih-alih mereka pandai (cerdas) dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan skill, untuk menulis sebuah karya saja mereka kurang mampu. Bahkan (maaf) banyak isu berkembang, sarjana pun pada akhirnya ‘meminta bantuan’ kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Padahal, setiap tahun bangsa ini melahirkan ribuan sarjana.

Karena itu, bila hal ini tidak segera diperbaiki, terutama untuk ‘kewajiban’ membaca buku minimal satu atau dua judul buku dalam setahun, niscaya bangsa kita akan semakin tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.

Penulis sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan Mendikbud Anies Baswedan dalam upaya menumbuhkan minat baca ini. Setidaknya, kini di sekolah sudah gerakan membaca minimal 15 menit sebelum pelajaran di mulai. Walaupun hal ini bisa dibilang terlambat, tapi upaya ini masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali.

Hal ini memberikan secercah harapan akan mulai tumbuhnya minat baca dan berkurangnya buta aksara. Sebab, merujuk pada data BPS, hingga tahun 2010, jumlah masyarakat Indonesia yang tidak bisa membaca dan menulis (buta huruf) sebanyak 7.752.627 orang, yang terdiri atas 2.816.207 orang pria, dan 4.936.420 orang wanita. Sebanyak 722.774 orang berusia antara 15-24 tahun, 2.725.913 orang berusia 25-44 tahun, dan sebanyak 4.303.940 orang berusia 45 tahun ke atas.

Setiap tahun, jumlah warga negara Indonesia yang buta aksara terus menurun. Dalam 10 tahun terakhir (2005-2015), dari sekitar 15 juta orang kini tersisa sekitar 4-5 juta jiwa. Harapannya angka ini semakin menipis dan puncaknya nol persen atau tidak ada lagi masyarakat yang tidak bisa membaca maupun menulis.

Melepaskan kebutahurufan dan keaksaraan ini tentunya bukan sebatas pada tugas pemerintah semata. Ini juga bukan hanya tugas guru di sekolah, atau orang tua di rumah, tetapi ini tugas setiap individu, tugas kita semua untuk maju, dan hak setiap pribadi untuk mendapatkan (akses) pendidikan serta buku-buku bacaan.

Masyarakat yang berada di perbatasan negara tetangga atau pulau terpencil dan terluar wilayah Indonesia juga berhak mendapatkan buku dan akses pendidikan. Sebab, masyarakat terluar dan terpencil memiliki potensi yang sangat besar mengalami buta huruf akibat minimnya sumber bacaan dan sulitnya mendapatkan akses pendidikan.

Tanpa dukungan, bantuan dan kerja sama semua pihak, maka kondisi masyarakat —terutama masyarakat Indonesia yang berada di wilayah terluar dan terpencil— akan semakin buruk. Untuk itulah perlunya berbagai upaya, mulai dari Gerakan Indonesia Membaca, Gerakan Indonesia Menulis, Gerakan Berantas Buta Aksara, hingga Gerakan Wakaf Buku perlu digalakkan. Demi membebaskan Indonesia dari buta aksara, dan mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement