REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Menteri Tenaga Kerja (Manaker) Muhammad Hanif Dhakiri dan pasukan medsos pendukungnya gagal memberikan penjelasan yang memuaskan atas membanjirnya tenaga kerja Cina ke negeri kita. Mereka justru sibuk membantah rumor angka 10 juta pekerja Cina yang mereka katakan sebagai kebohongan.
Angka tersebut dikatakan sebagai target kedatangan wisatawan asal Cina ke negara kita. Padahal, target kedatangan 10 juta wisatawan Cina juga tak ada dalam proyeksi pemerintah dalan beberapa tahun mendatang.
''Angka 10 juta memang bisa diperdebatkan. Tapi, jumlah itu bisa saja terjadi dalam beberapa tahun ke depan, sejalan dengan kian membesarnya pinjaman proyek dan 'investasi' Cina di negeri kita,'' kata Yusril, Selasa (19/7).
Ini persoalannya bukanlah jumlah angka 10 juta, tetapi masalah kesempatan kerja rakyat kita sendiri yang dirampas pekerja kasar dari Cina dengan makin besarnya pinjaman dan "investasi" Cina di sini. Pinjaman dan "investasi" Cina itu akhirnya hanya untuk menciptakan lapangan kerja buat rakyatnya Cina, sementara rakyat kita tak mendapat manfaat apa-apa.
Menaker dan para pendukungnya juga gagal membandingkan dengan jumlah TKI di Hong Kong yang bagian terbesarnya adalah TKW pembantu rumah tangga yang jumlahnya lebih besar dari tenaga kerja Cina di negeri kita. Perbandingan ini sangat tidak relevan. Para TKI itu diikat dengan kontrak kerja dan dapat dipulangkan kapan saja. Pekerja Cina di sini kebanyakan ilegal.
"Mengontrol TKI di Metropolitan Hong Kong jauh lebih mudah dibandingkan mengontrol pekerja Cina yang hadir mengerjakan proyek-proyek pinjaman atau 'investasi' Cina. Menaker Hanif perlu merazia pekerja Cina sampai ke hutan di Kalsel, suatu hal yang tak pernah dilakukan pejabat setingkat menteri di Cina dalam mengawasi para TKI,'' ujar Yusril.
Menurut Yusril, Masalah pekerja Cina di negara Indonesia kini memang terkait dengan kebijakan bebas visa bagi warga Cina, sehingga kedatangan mereka tidak bisa dibendung. Sementara, warga kita harus dapat visa untuk datang ke Cina, kecuali Hong Kong dan Macau. TKI di Hong Kong dan Cina dengan mudah dapat dibedakan dari warga lokal. Beda dengan pekerja Cina yang susah untuk dibedakan dengan WNI kalangan Tionghoa yang sudah lama menetap di sini.
Manipulasi data kependudukan yang dilakukan oleh warga Cina, sebagaimana juga diresahkan Yapto Suryokusumo, dengan mudah akan terjadi. Fenomena serupa juga terjadi di Malaysia. Karena itu, implikasi kehadiran pekerja Cina tidak bisa dipandang sederhana karena bersentuhan langsung dengan keamanan negara, sosial, dan ekonomi negara kita sekarang dan masa depan.
Upah pekerja di Cina lebih mahal daripada di negeri kita, seperti juga dikatakan para pendukung Menaker Hanif. "Ini seolah menyuruh kita berterima kasih dengan kesediaan warga Cina bekerja di negara Indonesia. Ucapan ini sangat mengherankan. Biasanya, orang mau bekerja di luar negeri kalau upahnya lebih mahal dari di negaranya sendiri. Kalau memang upah di negara kita lebih murah dari di Cina, dan mereka mau ramai-ramai datang bekerja di sini?"
"Kitapun patut bertanya apa maksud sesungguhnya kedatangan mereka beramai-ramai ke negara kita?'' tegas Yusril.