REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menkopolhukam Luhut Binsar Panjaitan menjelaskan sejauh ini Indonesia tidak melihat peluang dilakukannya operasi militer untuk membebaskan 10 anak buah kapal (ABK) WNI yang menjadi tawanan kelompok separatis asal Filipina, Abu Sayyaf.
"Lebih taktis lagi tadi kami mendapat laporan bahwa medan tempat mereka disandera (menyebabkan) sangat sulit dilakukan pembebasan, khususnya pelolosannya," kata di Jakarta, Jumat (15/6) malam.
Alasan utama pemerintah Indonesia mengesampingkan opsi operasi militer karena konstitusi Filipina yang melarang intervensi militer negara lain di wilayahnya. Karena itu, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia saat ini yakni perundingan/negosiasi dengan para perompak.
Meskipun pada pekan lalu tentara Filipina dikabarkan menewaskan sekitar 40 pemberontak Abu Sayyaf dalam serangan di kepulauan selatan Filipina, Luhut menegaskan bahwa operasi tersebut tidak mengganggu proses komunikasi dan negosiasi yang sedang berjalan.
Untuk mencegah agar peristiwa penyanderaan terhadap WNI tidak terulang kembali, pemerintah Indonesia telah menyiapkan beberapa opsi pengamanan tambahan khususnya bagi kapal-kapal tunda dan tongkang berukuran kecil yang mengangkut batu bara ekspor ke Filipina.
Kapal-kapal tunda dan tongkang yang proporsinya 15 persen dari keseluruhan kapal pengangkut batu bara Indonesia ke Filipina, dianggap lebih rentan dibajak.
Karena itu, sesuai panduan dari Organisasi Maritim Internasional (IMO), pemerintah mempertimbangkan penempatan personel bersenjata (armed guards) untuk mengawal kapal-kapal niaga tersebut.
"Yang jelas 15 persen kapal (tongkang) yang membawa batu bara ke Filipina itu akan dikawal oleh personel bersenjata, saya tidak menyebut itu TNI atau siapa. Nanti kita cari lagi formatnya," ujarnya