Sabtu 11 Jun 2016 16:33 WIB

BMKG: Gempa Bumi dan Gelombang Laut Fenomena Biasa

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Karta Raharja Ucu
Gempa bumi (ilustrasi)
Foto: Antara/Fiqman Sunandar
Gempa bumi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, wilayah Indonesia dalam 10 hari terakhir telah diguncang tiga gempa bumi yang menimbulkan sejumlah kerusakan. Selain itu, fenomena gelombang tinggi masih menerjang pesisir wilayah selatan Indonesia.

Namun, menurut Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, dua jenis fenomena alam tersebut merupakan hal yang biasa bagi Indonesia. Ia menjelaskan, Indonesia terletak di zona tumbukan tiga lempeng utama dunia. Selain itu, lanjut Daryono, posisinya yang berada di antara benua Australia dan Asia, serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, membuat Indonesia memiliki karakteristik cuaca dan iklim yang khas.

“Termasuk kondisi ekstrem terkait meteo-oseanografi, seperti gelombang tinggi yang sedang berlangsung saat ini. Semua peristiwa alam di atas adalah fenomena alam biasa yang sedang berlangsung dan akan berakhir dengan sendirinya,” kata Daryono dalam rilisnya, Sabtu (11/6).

“Ini kesempatan kita untuk belajar memahami alam sekitar, sehingga tidak perlu takut dan khawatir berlebihan jika terjadi lagi di kemudian hari,” ucap dia menambahkan.

Adapun tiga gempa bumi yang dia maksud, yakni yang mengguncang wilayah Sumatera Barat dan Bengkulu pada 2 Juni 2016 lalu. Gempa bumi dengan intensitas 6,5 skala richter ini merusak lebih dari dua ribu bangunan rumah.

Kedua, gempa bumi dengan pusat getaran di lempeng Laut Maluku dengan kekuatan 6,4 skala richter pada 8 Juni 2016. Guncangannya terasa di Maluku Utara dan Manado dengan laporan kerusakan pada lebih dari 35 rumah di Pulau Mayau dan Tifure, Maluku Utara.

Ketiga, gempa bumi di Samudera Hindia berkekuatan 6,0 skala richter yang terjadi di luar zona subduksi selatan Lombok, 9 Juni 2016 silam. Itu sempat mengguncang Bali, Lombok, Sumbawa dan sebagian Jawa Timur. Sejumlah kerusakan ringan dilaporkan terjadi pada beberapa bangunan rumah di Lombok.

Menurut Daryono, serangkaian gempa bumi tersebut belum tentu menjadi petanda akan adanya gempa bumi dengan skala yang lebih masif lagi di kemudian hari. Apalagi, beberapa gempa tersebut terjadi pada zona yang berbeda. Kemudian, tiap zona seismogenik memiliki medan tegangan dan karakteristik sendiri-sendiri, yang belum tentu terkait satu sama lain.

“Sehingga ketiga peristiwa gempabumi yang terjadinya secara hampir bersamaan tersebut hanya kebetulan saja. Artinya, selain berjauhan,  medan tegangan di zona gempa pada masing lokasi tersebut memang sudah mencapai maksimum,” ujarnya.

Terkait fenomena gelombang tinggi, Daryono meminta masyarakat untuk tidak menghubungkannya dengan kemungkinan terjadinya tsunami.

Dia memaparkan, gelombang tinggi yang terjadi belakangan ini disebabkan beberapa faktor. Di antaranya, dinamika pasang surut, munculnya anomali positif tinggi muka air laut di wilayah Indonesia, serta terjadinya penjalaran alun (swell) akibat munculnya pusat tekanan tinggi  di sebelah barat daya Australia.

“Memang, dengan kondisi gelombang laut yang tinggi seperti saat ini,  masyarakat di pesisir barat Sumatera, selatan Jawa, Bali, NTB dan NTT diimbau agar selalu waspada. Namun demikian kami tegaskan bahwa fenomena gelombang laut tinggi yang terjadi, tidak ada hubungannya dengan peristiwa tsunami,” kata dia menegaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement