REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengeluarkan moratorium atau penghentian sementara penerbitan izin baru pembukaan lahan kelapa sawit dan tambang hingga Mei 2017.
Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Togar Sitanggang mengatakan, kebijakan moratorium akan membatasi partisipasi Indonesia dalam berkontribusi menyediakan permintaan minyak nabati global di masa depan.
"Kebijakan moratorium juga akan menciptakan perdebatan baru tentang minyak nabati untuk pangan melawan energi di masa depan," kata Togar dalam diskusi publik bertajuk "Mengkaji Masa Depan Sawit Berkelanjutan Pasca Moratorium" di Balai Sidang Djokosoetono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, baru-baru ini.
Presiden Joko Widodo sebelumnya mengeluarkan Inpres No 8 Tahun 2015 tentang penghentian sementara atau moratorium penerbitan izin baru pembukaan lahan kelapa sawit dan tambang. Alasan pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium karena lahan kelapa sawit yang ada saat ini sudah cukup. Saat ini, jumlah total lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit mencapai sekitar 10-11 juta hektare dengan produktivitas hanya 2-4 ton per hektare.
Selain itu, keputusan pemerintah mengeluarkan kebijakan moratorium untuk mengatasi tumpang tindih masalah tata kelola lahan perkebunan kelapa sawit yang dapat memicu konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat.
"Padahal, dengan luas tersebut, produktivitas bisa ditingkatkan hingga 6-8 ton per hektare," kata Togar.
Kepala Sekretariat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) Herdrajat Natawidjaja mengatakan, prinsip berkelanjutan dalam pengelolaan sawit menjadi prioritas untuk dilakukan.