Rabu 08 Jun 2016 16:04 WIB

Raperda KTR Dinilai Sering Kebablasan

Kampanye antirokok. Ilustrasi
Foto: Antara
Kampanye antirokok. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapreda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dikritik pengamat hukum Margarito dan anggota DPR, Firman Subagio. Menurut mereka Raperda KTR sering kebablasan dan menabrak aturan di atasnya. Termasuk, raperda KTR di Tangerang Selatan.

Raperda ini tak hanya mengatur kawasan tanpa rokok, namun juga mengharamkan toko swalayan menjual rokok dan melarang perusahaan rokok beriklan. Margarito menilai, perda seperti itu jelas kebablasan karena menabrak aturan di atasnya, yakni PP 109 Tahun 2012tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Dalam PP ini hanya menyebutkan pembatasan.

 

"Aturan itu kebablasan. Perda tidak bisa mengatur apa yang tidak ada di undang-undang atau peraturan di atasnya. Urusan rokok ini kan tidak otomatis juga semata urusan kesehatan. Aturan seperti itu jelas memukul industri hingga petani," kata Margarito saat dihubungi wartawan, Selasa (7/6).

Ia khawatir, maraknya regulasi seperti itu, didorong kepentingan asing yang selama ini mendanai kampanye anti tembakau di Tanah Air. Margarito menilai, daerah terkena euforia merespon kampanya anti tembakau yang didorong asing sehingga seolah-olah urusan tembakau hanya dimensi kesehatan.  

"Ini yang harus diluruskan oleh pemerintah," kata dia menegaskan.

 

Wakil Ketua Baleg DPR Firman Subagyo sepakat dengan Margarito. Setiap peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Apalagi, rokok atau produk tembakau adalah produk legal.

 

Seharusnya menurut dia, wakil rakyat di daerah bisa berfikir dan bertindak strategis. Bagaimana industri hasil tembakau mempunyai posisi strategis. Karena itu sudah seharusnya ada undang-undang khusus yang mengatur.

"Tembakau lebih penting dilindungi oleh undang undang," ujarnya.

 

Firman mengingatkan, dalam setiap pengambilan keputusan terkait tembakau, harus ada pertimbangan rasional. Suka atau tidak, industri tembakau memberi kontribusi ekonomi besar mencapai Rp 157 triliun per tahun dari sisi cukai saja.

 

"Kalau itu dimatikan hanya karena desakan golongan anti tembakau jelas tidak fair. Tembakau bukan penyebab penyakit hingga menyebabkan kematian. Ingat, pabrik senjata juga menimbulkan kematian, kenapa tidak minta Amerika atau Rusiamenutup pabrik senjata mereka," kata Firman menegaskan.

 

Ia menilai, gencarnya regulasi yang memukul tembakau, semata karena kompetisi dagang di tingkat global. Ada kelompokbisnis tertentu yang ingin mematikan industri tembakau dalam negeri.

 

"Maka dimatikan dengan kompetisi adanya perang nikotin dengan tembakau, sehingga dibuat isu kematian akibat tembakau," ujar dia.

"Kalau tembakau dilarang jual," kata Firman melanjutkan, "maka bagaimana dengan petani. Pemerintah daerah tidak bisa membuat regulasi yang diskriminatif, harus diatur bersama, petani tetap terlindungi."

 

Firman mengingatkan, salah satu alasan penjajah datang karena tembakau lokal Indonesia yang kemudian dibawa ke Belanda untuk dijadikan bahan cerutu. "Nah, seharusnya, tembakau sebagai karunia Tuhan di sektor pertanian dilindungi dan tidak bisa diabaikan begitu saja  di tengah perlambatan ekonomi dan defisit anggaran mencapai Rp 300 triliun."

 

"Jika tembakau diberangus mau diganti dengan apa. Jangan mengikuti dan mau ditunggangi oleh kampanye anti tembakau yang didanai kepentingan asing," tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement