Rabu 01 Jun 2016 23:14 WIB

Gubernur Lemhanas: Generasi Pasca 1965 Kurang Referensi

Letnan Jenderal (Purn) TNI Agus Widjojo sesaat sebelum pelantikan menjadi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (15/4).
Foto: Republika/ Wihdan
Letnan Jenderal (Purn) TNI Agus Widjojo sesaat sebelum pelantikan menjadi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat (15/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo mengatakan generasi pasca-peristiwa 1965 yang tidak mengalami masa-masa itu, tidak mendapatkan referensi yang memadai untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi baik sebelum 1965 dan setelahnya.

"Akibat kurangnya referensi, generasi yang lahir pasca-1965 jarang memahami sejarah pra 1965 sampai setelahnya, dan pembukaan tabir sejarah itu juga yang menjadi pembahasan dalam simposium membedah tragedi 1965 di Hotel Aryaduta beberapa waktu lalu," katanya selepas acara Simposium bertajuk Mengamankan Pancasila dari Ancaman Kebangkitan PKI dan Ideologi Lain di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (1/6).

Agus menegaskan pembukaan tabir sejarah tersebut yang ingin diungkap oleh simposium Aryaduta yang menyandang tragedi 1965 itu, dengan melakukan pembedahan sejarah mulai dari yang terjadi sebelum tahun 1965.

"Jadi anggapan bahwa simposium Aryaduta itu hanya membahas soal 1965 sepenuhnya salah karena kami bahas juga peristiwa sebelumnya," ujar Agus yang juga ketua panitia Simposium Aryaduta tersebut.

Dalam simposium tersebut, lanjut Agus, sama-sama diketahui oleh peserta bahwa tangan PKI juga berdarah dengan melakukan pembunuhan massal dan pemberontakan pada tahun 1948 di Madiun, Jawa Timur yang berakhir dengan pernyataan menteri kehakiman pada waktu itu bahwa PKI diterima kembali dalam sistem politik Indonesia.

Menurutnya, hal tersebut untuk memberikan citra tentang demokrasi di Indonesia tahun 1950-an dan merekatkan kembali persatuan kesatuan Indonesia dalam menghadapi agresi militer kedua Belanda.

"Ini yang kita buka dalam simposium. Namun, meskipun ada yang menyertakan pemberontakan PKI tahun 1926, kami tidak memperhitungkannya karena waktu itu kolonial masih berkuasa," katanya.

Atas kejadian tersebut dan beberapa yang terjadi sebelum 1965 seperti pemaksaan ideologi dan kebijakan melalui aksi sepihak terhadap penggarap tanah pada waktu itu dan peristiwa Bandar Besi yang memakan korban dari TNI AD, menjadikan semacam trauma yang akhirnya muncul istilah "bahaya laten PKI" di kalangan AD dan berkembang ke masyarakat.

"Jadi bahaya laten PKI itu bersumber pada catatan sejarah, dan lawan utama dari PKI ini TNI, terutama Angkatan Darat. Jadi TNI lah yang merasakan bahaya laten PKI dan muncul juga trauma akan berkembangnya lagi PKI sebagai akibatnya karena secara konsisten PKI itu membawa cara-cara tindakan kekerasan dalam memperjuangkan ideologinya," ucapnya.

Kendati demikian, dia menilai rekonsiliasi yang diupayakan pemerintah dengan tujuan mencari penyelesaian masalah sejarah bangsa yang berefek pada keturunan para pelaku sejarah dalam peristiwa tersebut, harus didukung demi tercapainya masa depan bangsa yang lebih baik dan tanpa ada beban masa lalu.

"Termasuk simposium di Balai Kartini saat ini, karena pada akhirnya baik simposium Aryaduta atau simposium ini menuju pada muara yang sama yaitu masukan untuk dijadikan bahan rekomendasi bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakannya yang menurut pemerintah terbaik untuk berdamai dengan masa lalu dan berdamai dengan masa depan bangsa yang lebih baik," kata Agus.

Kendati demikian, Agus menjelaskan rekonsiliasi tidak bisa diartikan untuk meminta maaf pada korban PKI saja namun merupakan konsep yang luas dengan berbagai elemen yang terkait satu sama lain.

Dia juga mengharapkan rekomendasi hasil simposium di Aryaduta jangan dianggap memberi peluang bagi ideologi komunis untuk kembali karena ketentuan perundang-undangan masih tetap berlaku.

"Jadi rekonsiliasi harus dilihat sebagai konsep secara keseluruhan, jangan diartikan satu-persatu, titik rekomendasi itu bukan seperti ujian di sekolah, ya atau tidak. Jika dilihat ada gejala gagal paham terhadap sebuah konsep yang utuh, sehingga melihatnya hanya hitam-putih," katanya.

Agus hadir dalam kesempatan tersebut dengan kapasitas mewakili panitia Simposium Tragedi 1965 yang sebelumnya telah mendapat restu dari Menko Polhukam Luhut Pandjaitan. Pada Mei lalu, Agus juga dikabarkan telah menyerahkan rekomendasi yang dihasilkan simposium yang digelar di Aryaduta tersebut.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement