Rabu 01 Jun 2016 05:26 WIB

Soal Draf Revisi UU Terorisme, ICJR: Banyak Pasal Abaikan HAM

Rep: Agus Raharjo/ Red: Agung Sasongko
Terorisme (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Terorisme (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Draf revisi Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 dinilai masih banyak menyertakan pasal yang tidak memertimbangkan Hak Asasi Manusia (HAM). Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan, pihaknya sudah meneliti setiap pasal yang ada dalam draf revisi UU Terorisme. Hasilnya, banyak pasal yang melanggar prinsip HAM.

Pertama, kata Erasmus, masa penahanan dari 6 bulan diperlebar menjadi 450 hari. Masa penahanan ini kalau dihitung lebih dari setahun sebelum terduga menjalani persidangan. ICJR memertanyakan alasan masa penahanan yang dilakukan selama itu. Padahal, sistem peradilan yang ada sekarang dinilai sudah efektif, jadi tidak ada alasan adanya penambahan masa penahanan.

“Kami melihat ada praktek inkomunikadeo, menahan orang tanpa memberi akses komunikasi dan informasi ke luar, tidak dapat akses advokat dan tidak diketahui keberadaannya,” tutur Erasmus di kompleks parlemen Senayan, Selasa (31/5).

Erasmus menambahkan, proses penyidikan di Polri saat ini dinilai sangat bagus. Penyidik seharusnya tidak kesulitan untuk menentukan seseorang itu apakah sudah layak menjadi tersangka atau belum. Didasari dua alat bukti yang cukup, penyidik dapat menetapkan apakah terduga statusnya meningkat menjadi tersangka. Selain soal masa penahanan, ICJR juga menyoroti soal pasal penyadapan.

Menurutnya, penyadapan dalam draf RUU Terorisme dibuat lebih longgar. Dalam UU yang lama, seseorang harus mendapat izin dari ketua pengadilan untuk melakukan penyadapan. “Di konteks RUU Terorisme, penyadapan disamakan antara intelijen dan penegakan hukum,” ujar dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement