Selasa 31 May 2016 17:47 WIB

Komnas PT Sebut Jokowi Mendua

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Teguh Firmansyah
Larangan merokok
Foto: flickr
Larangan merokok

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) pada 31 Mei ini menjadi momentum untuk menagih janji-janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal itu disampaikan anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Hakim Sorimuda Pohan, Selasa (31/5). Menurut dia, Presiden Jokowi belakangan ini tampil dengan sikap mendua terhadap pengentasan bahaya produk tembakau, utamanya rokok.

Dia menuturkan, sebelum naik menjadi orang nomor satu di republik ini, Jokowi berjanji untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Hal itu dicantumkannya pada butir kelima Nawacita.

Tindakan positifnya, janji itu menguat melalui Peraturan Presiden RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Dalam aturan tersebut, salah satu sasaran pembangunan kesehatan ialah menurunkan prevalensi merokok pada penduduk berusia 18 tahun ke bawah.

Hakim menjelaskan, angkanya ditargetkan menurun dari 7,2 poin pada 2013 menjadi 5,4 poin pada 2019 mendatang. Dengan demikian, diharapkan ada penurunan sebesar 25 persen dalam lima tahun atau menjelang 2019.

RPJMN itu diiringi pula dengan komitmen pemerintah untuk tidak menambah lagi batas produksi rokok yang mencapai 265 miliar batang rokok per tahun. Prioritasnya, lanjut Hakim, untuk melindungi rakyat, khususnya kaum muda Indonesia, dari zat adiktif.

Namun, upaya baik itu sirna begitu Menteri Perindustrian Saleh Husin membuat aturan, yakni Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015 tentang Peta Jalan (Road Map) Industri Hasil Tembakau (IHT) Tahun 2015-2020.

Baca juga, Merokok Adalah Perangkap Kemiskinan.

Dalam peta jalan tersebut, jelas Hakim, angka capaian produksi rokok malah dinaikkan menjadi 439 miliar batang rokok hingga tahun 2019. Lantaran Menteri Perindustrian merupakan pembantu presiden, Hakim menuding adanya sisi kemunafikan yang ditunjukkan Presiden Jokowi.

“Artinya kita harus menyiapkan mulut remaja Indonesia puluhan juta orang lagi agar bisa menghabiskan produksi rokok yang dihasilkan. Itu tidak main-main. Pemerintah kita ambivalen. Jadi, dua macam kepribadian dipertontonkan. Di Nawacita, positif melindungi rakyat. Tetapi program yang riil dilaksanakan pemerintah ini, mengorbankan rakyat, terutama generasi muda, kepada bandar adiktif raksasa—industri rokok itu,” papar Hakim Sorimuda Pohan saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (31/5).

Komitmen Presiden Jokowi kian diragukan. Pada Oktober 2015, lanjut Hakim, dalam lawatannya ke Amerika Serikat (AS), Presiden sempat bertemu dengan para investor asing di sana. Termasuk di antara mereka, raksasa industri rokok bernama Philip Morris.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement