REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 yang kemudian direvisi menjadi UU No 35 tahun 2014 dinilai belum disosialisasikan secara optimal ke sekolah sebagai institusi pendidikan dan guru sebagai pendidik. Menurut Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI) Agustinus Sucipto, banyak guru belum memahami isi UU Perlindungan Anak dan implementasinya.
"Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswa," ujar Agustinus Sucipto, Senin (30/5) malam.
Karena itu, ia mendesak sosialisasi serius Undang-Undang Perlindungan Anak. Ia berpendapat, penjelasan, penjabaran dan batasan yang jelas tentang makna kekerasan seperti terdapat dalam UU No 35 Tahun 2014 Pasal 54 karena makna kekerasan sendiri multi tafsir, sangat diperlukan.
Menurut dia, penafsiran makna kekerasan inilah yang sering digunakan orangtua untuk menyeret guru ke meja hijau. "Membentak bisa saja dikategorikan kekerasan karena bisa menimbukan kesengsaraan psikis," kata Agustinus.
Di sisi lain, guru sendiri harus melek hukum sehingga dalam melaksanakan tugasnya tahu batasan dalam memberi hukuman. Guru pun bisa membela diri atau mencari jalan keluar saat berhadapan dengan masalah hukum.
Ia mendesak pemerintah dan organisasi guru seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memberi advokasi yang serius sesuai amanat UU Guru dan Dosen, ketika guru tersandung masalah hukum dalam melaksanakan tugasnya. Advokasi ini penting agar jelas apakah kasus tersebut merupakan kategori pelanggaran etik, pelanggaran disiplin atau pelanggaran hukum.
"Lihat saja, untuk melindungi guru dan instansinya, sejumlah sekolah swasta kini justru sudah memiliki lawyer mumpuni karena seringkali mereka dituntut ke pengadilan oleh orangtua, misalnya karena kasus anak tidak naik kelas," ujarnya.