REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pertumbuhan hunian vertikal berupa rumah susun atau apartemen di berbagai kota di Indonesia terus meningkat. Di Kota Yogyakarta, meski belum ada satupun apartemen milik swasta yang berdiri namun investor yang berminat membangun hunian vertikal di Kota Budaya ini cukup banyak. Hingga akhir Mei 2016 ini setidaknya ada enam pengembang yang berminat mendirikan hunian vertikal di wilayah Kota Yogyakarta.
Berdasarkan data di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, keenam pengembang ini sudah melakukan konsultasi pengajuan izin pendirian apartemen di Kota Yogyakarta sejak awal 2015 lalu. Mereka belum juga melakukan pembangunan karena terkendala izin dari Pemkot setempat. Peraturan daerah (perda) rumah susun baru saja ditandatangani DPRD Kota Yogyakarta akhir 2015 lalu dan penjabarannya masih menunggu peraturan walikota Yogyakarta yang hingga kini belum juga diterbitkan.
"Sampai detik ini masih sebatas konsultasi pendirian dan persyaratan. Untuk lokasinya mereka sudah memiliki lahan," ujar Kepala Bidang pelayanan Perizinan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Setiono kepada Republika, Kamis (26/5).
Lokasi yang akan dikembangkan menjadi apartemen tersebut ada di Jalan Lowano, Jalan Sardjito, Gowongan, Timoho dan beberapa wilayah lainnya. Namun hingga kini pihaknya belum mengeluarkan izin terkait pembangunan apartemen tersebut. "Kita masih menunggu Perwalnya," katanya.
Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengatakan, kebutuhan hunian di Kota Yogyakarta ke depan memang diprioritaskan adalah hunian vertikal. Hal ini karena keterbatasan lahan yang ada di Kota Yogyakarta sehingga harga tanah akan semakin tinggi dari tahun ke tahun. Dengan luas wilayah yang hanya 32 kilometer persegi, harga tanah di Kota Yogyakarta terus meningkat setiap tahun. "Hunian vertikal menjadi solusi atas keterbatasan lahan ini," ujarnya.
Meski begitu, pembangunan hunian vertikal di Yogyakarta sendiri tingginya juga tidak diperbolehkan lebih dari 32 meter di atas permukaan tanah atau maksimal 8 lantai. Ini sudah diatur dalam Perda Rencana Detail Tata Ruang. Pasalnya banyak bangunan cagar budaya di Kota Yogyakarta.
Selain kebutuhan hunian, kepemilikan apartemen dewasa ini juga telah menjadi bagian dari gaya hidup kelas tertentu masyarakat. Masyarakat kelas menengah atas yang ingin berinvestasi juga melirik apartemen untuk memarkirkan sebagian rejekinya. Sedangkan pasangan baru kelompok menengah atas juga memilih apartemen sebagai tempat tinggal, selain berada ditengah kota, apartemen juga memenuhi kebutuhan previlage para penghuninya.
Santoso (32), pegawai sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta yang belum lama menikah juga sudah mengincar salah satu apartemen di Kota Yogyakarta yang akan segera dibangun. Menurutnya, kehidupan di apartemen bisa mendukung aktivitasnya dan keluarganya sebagai karyawan swasta yang sering pulang malam. "Kita tidak ribet dengan urusan lingkungan dan tetangga. Urusan kebersihan dan keamanan juga lebih terjamin," ujarnya.
Apalagi kata dia, kepemilikan apartemen di Kota Yogyakarta hampir sama harganya dengan kepemilikan rumah. "Kalau beli perumahan kita dapatnya agak jauh dari tengah kota, repot kalau pulang malam," katanya.
Sosial Harus Dipertimbangkan
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Arie Sudjito mengatakan, pembangunan apartemen dan kehidupan di apartemen harusnya tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan hunian semata tetapi juga mempertimbangkan aspek sosialnya. "Kebutuhan hunian ini harus juga mempertimbangkan aspek estetika, sosial terutama humanisme," ujarnya.
Menurutnya, hidup di apartemen juga akan memunculkan potensi ketegangan sosial yang meningkat. Karena kehidupan di apartemen itu membutuhkan pasokan air yang cukup banyak. Jika hal itu tidak terpenuhi juga akan memunculkan ketegangan sosial antar penghuni dan juga lingkungannya. Karena mau tidak mau pembangunan apartemen juga akan berdampak pada lingkungan di sekitar apartemen tersebut.
"Ini yang juga harus dipikirkan, bukan semata memikirkan kebutuhan hunian. Ruang publik, air bersih, hubungan sosial juga harus dipikirkan," katanya.
Kabid Pelayanan Perizinan Setiono mengatakan, Perwal tentang rumah susun atau apartemen yang akan dikelurkan Pemkot Yogyakarta juga akan mencakup tentang hubungan sosial antara penghuni apartemen dan lingkungan sekitar. "Terkait hubungan sosial ini nanti akan diserahkan ke wilayah (camat), dalam Perwal direncanakan akan diatur adanya paguyuban penghuni rumah susun (apartemen) yang nantinya bisa berinteraksi dengan warga sekitar. Tetapi ini masih rencana, Perwalnya belum keluar," katanya.
Paguyuban penghuni apartemen inilah yang diharapkan nantinya bisa menjadi perekat interaksi sosial antar penghuni apartemen sendiri sehingga tidak mengedepankan individualisme dan juga dengan masyarakat sekitar. Perwal ini menurutnya, juga akan mengatur hubungan antar penghuni dengan pengembang melalui aturan pertelaan (kepemilikan). Dengan begitu diharapkan keberadaan rumah susun atau apartemen di Kota Yogyakarta tidak akan menimbulkan masalah sosial baru, karena akan ada interaksi penghuni apartemen dengan warga sekitar yang diatur dalam perwal.
Meski Kota Yogyakarta nantinya akan memiliki aturan tersendiri untuk para penghuni apartemen agar interaksi sosial bisa terjalin, namun jika bangunan apartemen yang dikembangkan oleh pengembang juga tidak mendukung interaksi antar penghuninya, maka aturan tersebut hanya tinggal aturan semata. Bangunan apartemen juga memiliki andil besar dalam menciptakan interaksi sosial antar tetangga di apartemen tersebut.
Hal ini ternyata menjadi fokus dari Capitaland, yang sudah membangun beberapa apartemen di Indonesia. Melalui konsepnya CairnHill Nine : Building People Building Community, Capitaland ingin menciptakan hunian apartemen yang memungkinkan interaksi sosial antar penghuninya tetap terjalin dengan baik. Hal itu dilakukan melalui beberapa fasilitas publik yang dibangun oleh pengembang tersebut. "Bagaimanapun interaksi tetangga harus terus dibangun dan dipertahankan," ujar Sukardi dari CairnHill Nine.