Rabu 25 May 2016 07:07 WIB

Ini 5 Permintaan PGI ke Pemerintah Terkait Isu Kebangkitan Komunisme

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Andi Nur Aminah
Sejumlah anggota ormas membakar bendera komunis saat deklarasi Gerakan Masyarakat Anti Komunis di Plaza Balaikota, Bogor, Jawa Barat, Senin (23/5).
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Sejumlah anggota ormas membakar bendera komunis saat deklarasi Gerakan Masyarakat Anti Komunis di Plaza Balaikota, Bogor, Jawa Barat, Senin (23/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) prihatin dengan maraknya fenomena 'antikomunisme' di Indonesia. Untuk itu, PGI memohon pemerintah memperhatikan lima hal berikut.

Pertama, menghentikan segala upaya oknum tertentu yang berusaha menghidupkan isu komunisme atau bahaya laten Partai Komunisme Indonesia (PKI) dengan menggiring masyarakat kepada kekhawatiran dan ketakutan yang tak berdasar. PGI mendorong pemerintah di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo untuk terus memfasilitasi upaya pelurusan sejarah terkait dengan Peristiwa 1965. "Agar perjalanan bangsa ini ke depan tidak selalu dibayangi oleh ketidak-pastian dan keresahan," kata Ketua Umum PGI Pdt Henriette TH Lebang, baru-baru ini. 

Menurut dia, ketidakpastian dan keresahan sosial ini akan sangat mudah dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk membangunkan isu-isu yang tak produktif. Hal itu dinilainya malah bisa merusak tatanan kehidupan harmonis yang sudah tercipta di dalam masyarakat.

Kedua, menghentikan segala bentuk tindakan pelarangan, sweeping, penyitaan barang cetakan seperti buku tanpa melalui proses peradilan. "Tindakan semena-mena demikian sama dengan pengambilalihan hak milik pribadi secara sewenang-wenang yang tidak memiliki dasar hukum," ujarnya. 

Oleh karenanya, PGI sekaligus juga memohon perhatian Presiden Jokowi untuk menindak tegas aparat atau kelompok masyarakat yang melakukan tindakan-tindakan sedemikian.

Ketiga, seandainya ada kelompok bangsa yang tidak setuju dengan sebuah gagasan dan ideologi tertentu, sebaiknya dihadapi dengan mengajukan argumentasi yang rasional. Bukan dengan tindakan kekerasan. 

Dia mengatakan buku-buku tidak harus diberangus, tetapi diimbangi dengan menulis dan menerbitkan buku yang membuka ruang dialog, atau menangkalnya dengan cara yang cerdas, rasional dan disertai argumentasi yang mudah dipahami masyarakat. Hal ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PPU/-VIII/2010 tentang Pembatalan PNPS No. 4 tahun 1963 tentang Pelarangan Buku yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 1 hingga Pasal 9 UU No. 4/PNPS/1963 adalah inkonstitusional, bertentangan dengan UUD 1945.

Keempat, menghentikan segala bentuk pembubaran paksa, apalagi yang disertai kekerasan, atas kehendak masyarakat untuk berserikat dan berkumpul serta berdiskusi. Ini sebagai bagian dari tugas negara untuk menjamin hak-hak masyarakat untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 28.

Kelima, mengimbau pemerintah memberi perhatian lebih sungguh-sungguh atas radikalisme agama dan geliat ekonomi yang didominasi oleh kerakusan. Hal-hal seperti ini justru dapat menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. "Musuh yang utama bukanlah komunisme, tetapi kemiskinan, ketidakmerataan ekonomi, korupsi dan ketidakadilan sosial," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement