REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia sebagai penghasil sumber daya alam yang melimpah belum memberikan kesejahteraan bagi negara, khususnya masyarakat yang berada di sekitar SDA tersebut. Saat ini lahan dan pengolahan SDA sudah terlalu banyak dilakukan oleh pihak asing. Pendapatan dari hasil SDA pun tidak banyak dirasakan oleh pemerintah Indonesia.
Hal itu dsampaikan oleh Koordinator Institur Hijau Indonesia Chalid Muhammad. Doa mengatakan memang saat ini telah terjadi ketimpangan yang sangat besar mengenai permasalah kepemilikan lahan. Menurut dia Gini Ratio kepemilikan lahan ini telah mencapai 0,65 persen. Nilai ini tidak mencerminkan bahwa pemerintah konsen untuk menjaga SDA yang dimiliki bisa mensejahterakan masyarakat.
"Kita yang melakukan kesalahan ini. Dalam ketimpangan Agraria yang cukup besar tentang kekuasan lahan. Ini membuat eksploitasi sumber daya alam semakin jauh dan tidak berkeadilan," ujar Chalid dalam dikusi 'Perspektif Kebangkitan Bangsa Melalui Politik Sumber Daya Alam' di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jumat (20/5).
Chalid menjelaskan, akibat dari lahan yang memiliki SDA banyak dikuasai pihak asing. Hasilnya monopoli SDA mulai dari hulu hingga hilir tak bisa dielakan. Sumber bahan mentah dari SDA yang dihasilkan lahan Indonesia pun akhirnya harus dibeli kembali oleh masyarakat dengan nilai yang lebih tinggi setelah diolah di luar negeri. Ini membuat Indonesia hanya terkenal sebagai negara penyedia bahan mentah.
Menuru Chalid, keberadaan pihak asing yang semakin menjamur untuk mengolah SDA dalam negeri, nantinya bisa berdampak luas pada kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana ekologis. Selain itu, kerusakan lain adalah timbulnya konflik ruang, kemiskinan, hingga potensi disintegrasi yang semakin meningkat.
"Kita bisa lihat contohnya sekarang ada di Papua, di Aceh dan daerah lain yang merasa tidak puas atas kesejahteraan dari sumber daya, yang kemudian meminta melepaskan diri dari Indonesia," paparnya.
Hal ini lebih disesalkan karena pemerintah menjual bahan yang memiliki nilai tinggi, dan malah melakukan impor produk lain seperti beras, garam hingga gula dalam jumlah besar yang seharusnya bisa diminimalisir karena lahan dalam negeri juga bisa memproduksi kebutuhan ini.
Untuk itu, pemerintah sudah harus bangkit dan melakukan revolusi agar SDA yang ada bisa dikelola lebih banyak oleh dalam negeri yang kemudian mampu mensejahterakan rakyat. Hal ini bisa dimulai denga merubah paradigma pengelolaan SDA yang selama ini banyak dilepas kepada pihak luar.
Selain itu,pemerintah juga harus menjalankan revolusi hukum di bidang SDA. Artinya pemerintah tidak boleh ragu untuk menebang pihak asing ataupun perusahaan dalam negeri yang selama ini melakukan kecurangan.
"Sekarang peraturan pengusaha sawit misalnya yang harus melakukan kemintraan sama petani dengan memberikan 20 persen dari lahan untuk dikelola petani, itu saja implementasinya ga jalan," ujar Chalid.
Menurut dia, salah satu cara untuk melakukan revolusi hukum bisa dengan melakukan prombakan dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau Perpu Reforma Agraria. Ini dibuat guna menginvetarisasi penguasaan agraria yang selama ini masih dikuasai segelintir orang. Selain itu, pemerintah bisa membentuk tim untuk mengecek apakah hasil dari produk agraria ini tidak dijual belikan secara komunal.
"Ini yang sebenarnya mendesak dan harus segera dilakukan pemerintah mengenai Reforma agraria," kata dia.