Kamis 19 May 2016 21:58 WIB

Taufiq Ismail Sebut Pengajaran Sastra Indonesia Telantar

Sastrawan Taufiq Ismail dalam kapasitasnya sebagai sesepuh Gerakan Bela Negara di Kantor Redaksi Republika, Selasa (8/9).
Foto: Republika/ Yogi Ardhi
Sastrawan Taufiq Ismail dalam kapasitasnya sebagai sesepuh Gerakan Bela Negara di Kantor Redaksi Republika, Selasa (8/9).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Pengajaran sastra, mengarang, dan berbicara dalam studi bahasa dan sastra Indonesia di SMA telantar 66 tahun selama masa kemerdekaan sehingga harus ada paradigma baru dalam pengajaran sastra di sekolah, kata budayawan Taufiq Ismail.

Menurut Taufiq, dalam Seminar Penguatan Karakter Bangsa melalui Gamitan Pembelajaran Bahasa dan Sastra, di Bandarlampung, Kamis, pada masa penjajahan dulu, siswa AMS Hindia Belanda-A di Yogyakarta (1939-1942) diwajibkan membaca 25 judul buku sastra dan siswa AMS Hindia Belanda-B di Malang (1929-1932) siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra.

"Jumlah ini setara dengan jumlah buku sastra yang harus dibaca siswa SMA di negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Belanda, Jepang, Swiss, dan Amerika Serikat. Artinya, justu di zaman penjajahan kita bisa bersaing dengan negara maju itu dalam soal literasi sastra," ujarnya pula.

Taufiq pun membandingkan keadaan sangat terbalik kondisi saat ini. "Sangat parah, parah sekali karena saat ini siswa SMA Indonesia di mana pun nol buku sastra," katanya lagi.

Begitu pula dalam menulis karangan, kata dia lagi, pelajar AMS Hindia Belanda wajib menulis satu karangan per minggu, 18 karangan per semester, 36 karangan per tahun, dan 108 karangan per 3 tahun.

Sekarang, menurutnya, siswa SMA hanya menulis 3-15 karangan per tahun. "Banyak sekali tugas mengarang cuma satu kali setahun seperti Salat Idulfitri. Itu judulnya sama dari Sabang sampai Merauke: Berlibur ke rumah nenek," ujarnya pula.

Siswa gembira

Menurut sastrawan Angkatan 66 ini, cara pandang baru pengajaran sastra di sekolah harus membuat siswa memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira.

"Siswa membaca langsung karya sastra, seperti puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai. Bukan melalui ringkasannya," katanya lagi.

Karena itu, ujar dia, buku-buku yang disebut dalam kurikulum mesti tersedia di perpustakaan sekolah. Setiap buku wajib harus tersedia sebanyak 50 eksemplar.

Lainnya, lanjutnya, kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, dan ketika membicarakan karya sastra aneka ragam tafsir harus dihargai, serta pengetahuan tentang sastra baik teori, definisi, sejarah tidak utama.

Paling penting, menurut Taufiq, pengajaran sastra mestilah mendidik karakter pelajar, membangun perilaku siswa, serta menyemai nilai-nilai luhur dan sifat akhlak mulia pada siswa.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement