REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie mengusulkan, pemerintah sebaiknya membuat UU dibanding Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) soal hukuman kebiri. Alasannya, semakin banyak Perppu, fungsi legislasinya bisa tidak jalan.
Namun, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar lebih menyetujui pembentukan Perppu dibandingkan UU. Sebab, UU membutuhkan waktu setidaknya sembilan sampai satu tahun.
"Kalau Perppu tinggal presiden saja yang buat, tak perlu persetujuan DPR. Nanti pada sidang berikutnya, baru DPR mempertimbangkan," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (19/5).
Abdul menjelaskan, dari sisi hukumannya, kekuatan Perppu dan UU sama. Kendati demikian, ia mengatakan, UU lebih bagus namun, kekuatannya sama. Hanya saja, ujar Abdul, Perppu dilakukan dalam keadaan darurat. Seperti, fenomena yang saat ini ada di Indonesia. Terlebih, saat pemerintah sudah memberlakukan darurat kejahatan seksual pada anak.
Abdul menyatakan, dirinya kerang sepakat dengan bentuk hukuman yang dipilih pemerintah. Ia lebih setuju dengan hukuman seumur hidup pagi pelaku kejahatan suksual. "Karena hukuman mati dan kebiri itu, sebenarnya melanggar HAM. Melanggar UUD 1945," ujarnya.
Alasannya, ia menjelaskan, tertuang dalam Pasal 28 i Ayat 1, dikatakan, hak hidup dan hak untuk tidak disiksa, adalah tidak bisa dikesampingkan dalam keadaan apapun juga. "ke depan, konstitusi itu, harus dilihat, jangan dikesampingan," tutur Abdul.
Mantan Ketua Mahkamah Kontitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan keputusan pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) soal kebiri tidak perlu. Menurutnya, yang lebih penting untuk menangani kejahatan seksual pada anak adalah membuat undang-undang.
"Tidak perlu Perppu, buat saja undang-undangnya. Diproses saja kasus kejahatan seksual itu dengan hukum yang sekeras-kerasnya. Semakin banyak Perppu, fungsi legislasi bisa tidak jalan," kata Jimly di sela Rapat Pleno VIII Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia di kantor MUI Pusat, Jakarta, Rabu (18/5).