Selasa 17 May 2016 19:19 WIB

Membedah Panama Papers, Agar tak Melanggar HAM

ETF Fellowships Gathering bertajuk 'Panama Papers: Pemahaman, Pemberitaan, dan Hak Asasi' di  Jakarta, Selasa (17/5).
Foto: Dok: eka tjipta foundation
ETF Fellowships Gathering bertajuk 'Panama Papers: Pemahaman, Pemberitaan, dan Hak Asasi' di Jakarta, Selasa (17/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bocoran Panama Papers yang dikeluarkan oleh International Consortium of Investigative Journalists, yang menampilkan nama sejumlah tokoh, bukan cuma pebisnis, tapi juga politikus hingga para pejabat publik Indonesia yang menginvestasikan dana mereka dalam berbagai skema dengan mendirikan perusahaan (offshore company) di negara surga pajak (tax haven) menjadi wacana yang menarik.

Sebagian masyarakat awam memaknainya sebagai praktik melanggar hukum, baik berupa pengelakan pajak (tax evasion), penyembunyian hasil kejahatan, berikut pencucian uang.

Berbeda dengan awam, kalangan investor, pengusaha, pakar keuangan, atau ekonom memahami, dalam dunia investasi, pengelolaan keuangan dan sejenisnya, ada yang namanya tax planning, tax avoidance dan sejenisnya, dimana hal tersebut tidak serta merta ilegal atau melanggar hukum, sehingga lazim dilakukan oleh para investor, atau mereka yang namanya muncul dalam Panama Paper tadi.

"Pembahasan di media arus utama berlangsung seru, tapi belum memberikan porsi yang memadai mengenai hal-hal mendasar mengenai praktik offshore fund. Mana yang boleh dilakukan, mana yang tidak melanggar hukum, mana yang tergolong pelanggaran hukum, kenapa itu dilakukan, bagaimana caranya, dan siapa yang melakukannya," kata Direktur Eksekutif Eka Tjipta Foundation, Hasan Karman yang memoderatori temu wicara ETF Fellowships Gathering bertajuk 'Panama Papers: Pemahaman, Pemberitaan, dan Hak Asasi' di  Jakarta, Selasa (17/5).

Ditambahkan oleh Kepala PPATK Muhammad Yusuf bahwa tidak semua nama yang ada dalam bocoran Panama Papers, ICIJ Offhore Leaks dan sejenisnya serta merta dianggap bersalah. Data itu perlu disandingkan dengan data lain, seperti temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

"Laporan transaksi keuangan yang mencurigakan hasil verifikasi PPATK jauh lebih banyak dibandingkan Panama Papers. Jumlahnya mencapai 56 ribu laporan," kata Yusuf.

Yusuf mengakui, sejauh ini hasil pemeriksaan PPATK terhadap data yang dimiliki baru pada tahap mencurigakan. Temuan tersebut sudah disampaikan ke penegak hukum. Namun, belum direspon secara optimal.

"Kami khawatirkan ada celah dalam skema bisnis yang berpotensi untuk digunakan kejahatan akibat lemahnya pengawasan," tambah Yusuf.

Pemberitaan yang kuat tanpa penjelasan yang memadai menurutnya bisa membuat publik menduga-duga jika mereka yang namanya tercantum dalam Panama Paper sebagai pihak yang bersalah, setidaknya punya niat tak baik.

Hal ini yang mendorong ETF mendiskusikan tema tersebut melibatkan para penerima ETF Fellowship, beasiswa yang disalurkan ETF bagi para profesional dari berbagai bidang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 2 maupun strata 3. Sekitar 100 orang penerima beasiswa hadir dalam acara tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement