REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan kasus pemerkosaan terhadap anak di bawah umur mulai bermunculan. Sosiolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Sunyoto Usman berpendapat, anak-anak merupakan sosok yang dinggap paling lemah oleh pelaku.
"Kalau di prostitusi harus bayar, kalau cari orang tua, kemungkinan ada perlawanan. Nah ini kemungkinan yang paling rendah, hanya melampiaskan nafsu-nafsunya pada anak-anak," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (11/5).
Selain itu, Sunyoto beranggapan, faktor ekonomi menjadi salah satu penentu pelaku berbuat kekerasan seksual terhadap anak-anak. Ditambah, adanya peredaran alkohol yang sulit dikontrol. Serta akses film porno yang mudah dijangkau oleh pelaku.
Kendati pelaku masih berstatus pelajar, menurutnya, orang tua juga sulit mengontrolnya. Alasannya, pengawasan-pengawasan yang dilakukan orang tua masih menggunakan model lama. "Sementara bentuk-bentuk pengawasan yang ada belum menemukan bentuk baru. Kalau model yang dulu belum bisa mengawasi aktivitas anak sekarang. Berat sekali," tutur Sunyoto.
Ia menuturkan, ada tiga hal yang perlu dilihat terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak di bawah umur. Yakni, pelakunya, korbannya dan prosesnya. "Tiga itu yang harus diidentifikasi dahulu," ujarnya.
Menurut Sunyoto, pelaku kejahatan seksual yang masih berstatus remaja, dipengaruhi oleh jaringan, film porno, pergaulan-pergaluan. "Kalau dilihat korbannya, orang-orang yang kalangan lemah. Kalau saya lihat ini sudah kalangan anak-anak muda ini sudah tahap yang berbahaya," tuturnya.