REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemanasan global yang memicu peningkatan suhu di tempat kerja telah membuat negara-negara berkembang termasuk Indonesia, India, dan Nigeria harus kehilangan hingga 10 persen jam kerja.
ILO Green Jobs Program Moustapha Kamal Gueye mengatakan laporan hasil penelitian ini menyoroti pentingnya kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai dimensi penting dalam merespon perubahan iklim. Pengembangan teknis dari laporan bersama hasil penelitian the High Occupational Temperature Health and Productivity Suppression (Hothaps) program of the Ruby Coast Research Centre, Mapua, Selandia Baru, yang dipimpin oleh Tord Kjellstrom menunjukkan bahwa konsekuensi kerugian dari dampak pengurangan jam kerja tersebut diperkirakan pada skala yang sama dengan output ekonomi, atau Produk Domestik Bruto (PDB), untuk berbagai negara-negara berkembang.
Karenanya, kata dia, memperkuat rencana untuk pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan Paris Agreement berdasarkan hasil penelitian akan secara signifikan mengurangi dampak ekonomi dan kesehatan masyarakat dari peningkatan suhu di tempat kerja.
Sekretaris Jenderal International Trade Union Confederation Sharan Burrow mengatakan bahwa kenaikan suhu membawa risiko kesehatan pekerja dan produktivitas di lingkungan kerja. Tindakan mitigasi perubahan iklim sangat mendesak untuk melindungi pekerja saat ini dan di masa depan. "Perubahan iklim itu nyata, dan tindakan untuk menghentikan dampak buruk ada di tangan kita," katanya.
Lebih dari satu miliar pekerja dan yang mempekerjakannya serta komunitas di negara rentan sudah bergulat dengan peningkatan suhu yang parah di tempat kerja, dan penanggulangan kondisi ini belum masuk dalam kebijakan perusahaan internasional dan nasional. Dalam laporan tersebut disebutkan ada salah satu negara telah mengurangi total jam kerja rata-rata empat persen sejak tahun 1990an. Bahkan kalau pun ditetapkan peningkatan suhu bumi harus kurang dari 1,5 derajat celsius dalam Paris Agreement, ada daerah-daerah tertentu di sebuah negara akan menghadapi panas ekstrem dalam satu bulan penuh setiap tahunnya di 2030.
Kondisi tersebut, ia mengatakan jelas akan mengurangi produktivitas kerja, meningkatkan kebutuhan waktu istirahat, serta melipatgandakan risiko kesehatan dan cedera dalam bekerja, yang berujung pada produktivitas yang rendah.