REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana terorisme menggelar rapat perdana, Rabu (27/4). Rapat ini dihadiri Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly. Rapat tersebut memaparkan pandangan mini fraksi terhadap draf rancangan UU Terorisme yang diajukan pemerintah.
Seluruh fraksi, minus Hanura yang tidak hadir, menyetujui pembahasan revisi UU Terorisme dilakukan antara DPR dan Pemerintah. Meski ada catatan yang disampaikan oleh beberapa fraksi terkait rancangan yang sudah disusun pemerintah. Hasil pandangan mini fraksi, sebagian besar menginginkan isi UU terorisme tidak menimbulkan potensi adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dari paparan sembilan fraksi, lima fraksi meminta agar UU terorisme tidak bertentangan dengan hukum dan HAM. Yaitu, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, PKB, dan PPP.
Anggota Pansus UU Terorisme dari Gerindra, Martin Hutabarat mengatakan, ada lima tolok ukur revisi UU Terorisme ini mengarah pada perbaikan yang lebih baik. Salah satu tolok ukur itu adalah prinsip HAM harus dipegang. Jangan sampai UU ini nantinya justru bertentangan dengan HAM.
“Gerindra mendukung kita bicarakan ini mendalam, tidak usah buru-buru, tapi tidak boleh melanggar HAM,” tutur Martin dalam rapat pansus UU Terorisme, Rabu (27/4).
Selain Gerindra, fraksi Demokrat juga mengingatkan agar rancangan yang dibuat oleh pemerintah dengan menambah kewenangan aparat digunakan secara hati-hati. Anggota pansus dari Demokrat Benny K. Harman menegaskan, selain penambahan kewenangan, beleid ini harus disertai pengetatan pengawasan untuk aparat yang mendapat tugas melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme.
“Kami ingatkan agar RUU ini harus memberi ruang yang lebih leluasa pada negara untuk memberantas terorisme, tapi di sisi lain, kewenangan itu harus digunakan secara hati-hati untuk mencegah radius kekuasaan, menjamin kepastian hukum, dan melindungi HAM,” tegas Benny.