REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra
Singapura dikenal sebagai negara kota. Dengan rata-rata pendapatan per kapita sekitar 50 ribu dolar AS atau sekitar Rp 650 juta, penduduk Singapura termasuk ke dalam kelompok sejahtera. Hanya saja, masalah mengadang mereka yang ingin memiliki rumah tapak (landed house). Karena luas negaranya yang terbatas, pembangunan tempat tinggal secara vertikal menjadi sebuah keniscayaan. Apartemen menjadi solusi bagi warga yang ingin memiliki hunian layak.
Salah satu apartemen yang layak dilirik di negara jiran itu adalah Cairnhill Nine. Apartemen yang lokasinya dekat kawasan Orchard tentu sangat strategis untuk dimiliki calon pembeli yang ingin memiliki properti di Singapura. Dengan banderol mulai Rp 13 miliar untuk luas 50 meter persegi, pembeli bisa mendapat fasilitas berupa furnished hampir lengkap, meliputi mesin cuci, kompor, kulkas, kitchen set, kamar mandi lengkap, dan lemari pakaian.
Satu hal yang membuat Cairnhill Nine menarik minat orang untuk membelinya, khususnya warga Indonesia, lantaran apartemen tersebut mengusung konsep kenyamanan bagi komunitas di dalamnya. Karena mengedepankan hunian yang menjaga kehidupan bertetangga, pengembang Cairnhill Nine bernama Capitaland Singapore Limited (CSL) mengklaim, pembeli apartemen hampir 50 persen merupakan warga negara Indonesia. Faktor merasa seolah berada di rumah sendiri menjadi pertimbangan pembeli membeli apartemen Cairnhill Nine yang mengusung citra dan rasa kebersamaan bagi penghuni.
Faktor nyaman
Waktu sudah menunjukkan larut malam. Hasyim Widhiarto baru saja pulang dari tempat kerjanya di bilangan Palmerah, Jakarta Barat. Dengan menumpang kereta rel listrik (KRL), ia merasa nyaman saja dengan perjalanan pulang ke kediamannya di Depok. Kebetulan pula, ia tinggal di apartemen yang dekat dengan Universitas Indonesia (UI).
Setelah turun di Stasiun UI, Hasyim tinggal melangkahkan kakinya untuk menuju kamarnya. Berangkat pagi dan pulang malam menjadi rutinitas yang dilakoninya sepanjang hari Senin hingga Jumat. Adapun ketika akhir pekan, ia bersama istrinya memilih pulang ke rumah orang tuanya di Serpong, Tangerang.
Dia tinggal bersama istrinya di apartemen tersebut. Pertimbangan membeli apartemen di kawasan Margonda lebih karena alasan lokasinya yang strategi. Itu lantaran Hasyim juga kadang menjadi pengajar jurnalistik di UI, yang merupakan almamaternya. Alumnus salah satu kampus di Australia ini memang menginginkan kehidupan yang lebih privasi di apartemen.
Meski jarang bersosialisasi, Hasyim mengaku masih bisa akrab dengan penghuni kamar yang berdekatan dengannya. "Kalau kenal ya cuma tetangga kiri kanan depan aja. Lantai atas bawah ya gak juga, kecuali sudah kenal sebelumnya," kata Hasyim kepada Republika, Rabu (27/4).
Menurut dia, hampir tidak mungkin bisa kenal seluruh penghuni apartemen yang memiliki kesibukan masing-masing. Belum lagi, intensitas pertemuan dengan penghuni lain juga sangat minim pada hari kerja. Karena itu, ia menilai, kondisi itu bukan suatu hal yang patut dipermasalahkan.
Meski begitu, pihaknya menyarankan agar pengelola apartemen untuk lebih aktif dalam memberikan pelayanan kepada penghuni. Itu lantaran, menurut pengakuannya, selama ini pengelola tidak pernah membuat suatu acara yang bisa membuat antarpenghuni bisa saling kenal. "Kalau acara silaturahim reguler gak ada sih, cuma baru-baru ini ada anak-anak mahasiswa bikin semacam forum penghuni apartemen untuk bantu-bantu petugas kebersihan dan keamanan," kata Hasyim.
Pengalaman Heri lain lagi. Penghuni apartemen di Kalibata, Jakarta Selatan ini menyatakan, tidak selalu penghuni apartemen itu saling cuek dengan tetangga kanan kiri. Dia menyatakan, di apartemen yang ditinggalnya, penghuninya atas inisiatif sendiri membuat sebuah perhimpunan. Upaya itu dilakukan untuk memperkuat rasa solidaritas dan mengakrabkan penghuni satu sama lain.
Dengan cara membentuk perhimpunan, kata dia, penghuni bisa merasa 'bersatu' dan memiliki solusi bersama ketika menghadapi suatu masalah. "Cuma ya, gue gak ikut. Ada milis penghuni juga, istri gue yang rada aktif, dia yang rada dikenal (penghuni lain)," ujarnya.
Menurut Heri, pengelola sebenarnya juga berkontribusi untuk menciptakan suasana kekeluargaan kekeluargaan di antara penghuni apartemen. Salah satu langkahnya dengan giat mengadakan bakti sosial atau donor darah bersama, plus acara 17 Agustus bersama. Meski begitu, kata dia, tidak semua penghuni bisa terlibat lantaran memiliki kesibukan masing-masing hingga membuat pihak yang terlibat terbatas orang-orang itu saja.
Meski begitu, Heri merasa tetap merasa betah tinggal di apartemen. Dia menyatakan, tinggal di apartemen memang kadang terhambat masalah interaksi, namun ia tetap merasa perlu bersosialisasi dengan tetangga. Heri menyatakan, mengenal tetangga tidak harus terbatas dalam satu blok, melainkan bisa dengan penghuni blok lain. Hal itu didukung dengan kegemarannya yang suka meminum kopi pada malam hari usai pulang kerja.
"Kalau gue sih sosialisasinya, biasanya cukup di warung kopi. Sambil nonton bola, hee," ujar pria yang sudah empat tahun tinggal di apartemen di Kalibata ini. "Jadi ada satu tempat ngopi yang memang biasa jadi tempat nongkrong khususnya buat yang suka bola."
Heri merasa sangat terbantu dengan keberadaan adanya penjual makanan dan minuman ringan di dalam kompleks apartemen. Selain bisa menjadi pelepas penat, kata dia, dengan adanya tempat berkumpul bagi penghuni lain setidaknya dapat memunculkan pembicaraan konstruktif terkait masalah yang dihadapi dengan pengelola.
Heri menjelaskan, dari pertemuan tidak formal ketika sedang minum kopi itu sering terungkap permasalahan antara penghuni dengan pengelola. Meski penghuni kadang ada yang berstatus sewa atau bukan pemilik, sambung dia, tetap saja adanya tempat berkumpul itu menjadi nilai positif bagi penghuni apartemen.
Meski begitu, ia menyayangkan dengan ruang terbuka hijau di dalam kompleks apartemen yang luasnya semakin menyusut. Hal itu terjadi karena pengelola banyak mengubah peruntukan ruang itu untuk diisi para pedagang. "Sudah disampaikan sama perhimpunan penghuni soal ruang terbuka sekarang makin berkurang. Space yang ada justru dikomersilkan sama pengelola," ujarnya.
Harus berinteraksi
Sosiolog Musni Umar menyatakan, lingkungan tempat tinggal dan kehidupan sosial banyak mempengaruhi perilaku setiap individu. Berdasarkan teori, kata dia, lingkungan sosial yang tertutup mendorong masyarakat yang hidup di lingkungan tersebut untuk berperilaku eksklusif, seperti individualistik dan tidak peduli terhadap sesamanya.
"Maka bagaimana pun hebatnya dan kayanya seseorang, hubungan sosial antara satu dengan yang lain harus terus dipelihara, dijaga dan dirawat. Jangan semua hubungan sosial selalu diukur dengan materi," ujarnya.
Musni menyatakan, hal itu harus dilakukan untuk mencegah jangan sampai kalau muncul masalah, tidak bisa dibagikan dengan pihak lain. Dia mencontohkan, misal ada penghuni tertekan atau memiliki persoalan serius akhirnya mengambil jalan pintas, dengan bunuh diri.
"Maka manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh mengingkari fitrahnya dan harus terus dibangun dalam hidup keseharian," katanya.
Musni melanjutkan, kemajuan masyarakat Indonesia yang kemudian mendorong untuk hidup di apartemen, jangan sampai tercerabut dari fitrahnya sebagai makhluk sosial, yang memerlukan cinta, empati, perhatian dan tempat bercurah keluh kesah.
Karena itu, tinggal di apartemen juga harus membuat penghuni tetap bisa berinteraksi dengan penghuni lain. Kalau lingkungan itu tercipta maka tentu menjadi keuntungan positif bagi yang tinggal di apartemen.