REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Roy Alexander Sparringa mengimbau masyarakat tidak membeli obat-obatan yang mengharuskan ada resep dokter secara daring (online).
"Kalau itu obat keras, yang harus menggunakan resep dokter. Kalau masyarakat langsung memesan obat keras di toko online jelas itu ilegal dan melanggar," kata Roy di Jakarta, Senin (25/4).
Roy mengatakan pengawasan peredaran produk farmasi seperti obat-obatan dan kosmetik secara daring memang lebih sulit ketimbang pengawasan di toko konvensional. Dia menjelaskan perlu adanya regulasi yang jelas dan ketat yang dilakukan oleh pemerintah melalui lintas sektor instansi.
"Kami sudah bicara ke Kementerian Kominfo, ke Kementerian Kesehatan kalau ini perlu diatur. BPOM siap sebagai pengawasnya," kata dia.
Dia menjelaskan e-commerce atau perdagangan elektronik merupakan keniscayaan yang tidak bisa ditolak di era teknologi yang makin berkembang saat ini. Oleh karena itu, ia mengimbau pada masyarakat sebagai konsumen agar lebih berhati-hati dalam membeli produk-produk farmasi secara daring.
Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan DKI Jakarta Dewi Prawitasari menjelaskan obat-obatan ilegal yang dijual secara daring biasanya merupakan resep dokter dan untuk penyakit-penyakit spesifik. "Pada umumnya obat untuk menyembuhkan sakit malaria, diabetes, hipertensi. Penyakit-penyakit yang nongeneratif," kata Dewi.
Temuan obat-obatan ilegal tersebut, kata Dewi, hanya pada toko-toko obat yang memiliki izin. BPOM bekerja sama dengan sejumlah instansi lain menyita tiga juta lebih produk kosmetik, obat-obatan, dan obat tradisional ilegal, kedaluwarsa, serta mengandung bahan kimia obat dan bahan berbahaya.
"Temuan ada 4.441 item atau 3.172.937 pieces dengan nilai keekonomian mencapai Rp 49,8 miliar," kata Roy.
Temuan tersebut mencakup wilayah operasi di seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan pada Februari-Maret 2016 dengan temuan sarana ilegal 174 dari 250 sarana yang diperiksa. Dari seluruh kasus tersebut, sebanyak 52 kasus atau 29,89 persen dilanjutkan ke pengadilan.