REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI), Mia Siscawati mengatakan perempuan Indonesia masih berada pada posisi marginal atau terpinggirkan, terutama dilihat dari aspek kesehatan dan pendidikannya.
"Dari satu sisi kita pernah punya Presiden perempuan. Pada rezim ini kita punya jumlah menteri perempuan yang cukup banyak. Namun realitanya, perempuan Indonesia masih pada posisi marginal," katanya dalam diskusi bertajuk "Kartini dan Perjuangan Perempuan di Masa Sekarang" yang digelar di Jakarta, Rabu (20/3).
Dari sisi kesehatan reproduksi, angka kematian ibu melahirkan di Indonesia masih tergolong tinggi. Tingginya angka kematian ibu melahirkan tersebut disinyalir memiliki relasi dengan perkawinan anak atau perkawinan yang dilakukan oleh orang yang usianya masuk kategori anak.
"Di Indonesia pernikahan anak masih terjadi dan paling tinggi kedua se-Asia Tenggara setelah Kamboja. Provinsi yang cukup tinggi perkawinan anaknya adalah Jawa Barat," ujarnya.
Menurutnya, faktor tingginya perkawinan anak tidak hanya sekadar faktor ekonomi saja, tapi juga budaya di mana ada tradisi bagi orang tua untuk segera mengawinkan anaknya setelah akil balig.
"Hal tersebut terjadi karena pemaknaan agama dan moralitas. Ini 'tragedi sunyi', karena banyak orang tidak menganggapnya (sebagai tragedi)," ucap Mia.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
Batas usia menikah minimum 16 tahun tersebut dianggap oleh kalangan pegiat HAM melanggar Konvensi Hak Anak dan juga Konvensi Penghapusan Diskriminasi Anak, yang salah satunya menyebutkan setiap perempuan yang berusia di bawah 18 tahun adalah anak-anak.
"Pernah ada upaya untuk menggugat (UU Perkawinan) di Mahkamah Konstitusi dan gagal. Para hakim MK lebih mendengarkan pihak-pihak dari organisasi keagamaan," ujar peneliti di Sajogyo Institute tersebut.
Kemudian, Mia juga berpendapat bahwa perempuan Indonesia masih terpinggirkan dari aspek pendidikan. Secara rata-rata, lama pendidikan perempuan masih rendah dibanding laki-laki.
Dia menyebut rata-rata lama pendidikan masyarakat Indonesia adalah 7 tahun, dan sebagian besar perempuan masih berada di bawah angka rata-rata tersebut. Mia juga menggarisbawahi mengenai masih banyaknya perempuan muda yang buta huruf.
"Kalau buta huruf berarti tidak sekolah dong. Hari ini ada perempuan muda tidak sekolah ada apa?," katanya.
Kemudian, menurut Mia, hal yang perlu dilakukan sekarang adalah edukasi pihak yang luas serta pemerintah harus mampu memperhatikan hak-hak dasar perempuan dari berbagai lapisan masyarakat dan kelompok sosial. Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Siti Musdah Mulia mengatakan negara masih abai pada masalah HAM.
"Jalan perjuangan sudah dilakukan, masalahnya adalah adakah kepedulian negara? Negara masih abai pada masalah HAM," kata pengajar yang juga aktivis HAM tersebut.
Musdah menggarisbawahi bahwa negara seharusnya hadir untuk memberikan jaminan hak asasi manusia yang mendasar serta mampu memberikan pendidikan dasar untuk pembentukan kultur berpikir kritis.
Dia juga mendorong agar interpretasi agama yang berkembang adalah interpretasi yang memihak kelompok rentan. "Harus dipikirkan interpretasi agama yang lebih ramah," kata Musdah.