REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengklarifikasi soal potensi defisit atau miss match.
Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris mengungkapkan, potensi defisit memang selalu ada selama besaran iuran kepesertaan belum mencapai angka ideal. Namun, hal itu tidak lantas membuat BPJS Kesehatan merugi. Bahkan, untuk tahun 2015 lalu, BPJS Kesehatan mengalami surplus dana tunai sebesar Rp 1,94 triliun.
“Jadi antara pengeluaran dan pendapatan itu per akhir tahun surplus. Karena pendapatan itu bukan semata-mata iuran. Ada hasil investasi. Kemudian ada komitmen pemerintah memberikan alokasi dana tambahan,” kata Fachmi Idris yang didampingi jajaran direksi BPJS Kesehatan saat menyambangi kantor Harian Republika, Jakarta, Kamis (14/4).
Tahun lalu, pemerintah mengalokasikan dana komitmen sebesar Rp 6,6 triliun, yang disuntikkan ke BPJS Kesehatan menjelang tutup tahun 2015. Adapun dari hasil investasi, pada 2015 BPJS Kesehatan meraup Rp 1 triliun.
“Tapi kalau kita cuma melihat antara iuran dan pengeluaran, sampai kapanpun miss match. Jujur saja kami sampaikan, kenapa seringkali muncul berita tentang defisit. Karena (besaran) iuran (bulanan) dan pengeluaran itu memang tidak imbang. Kalau kita hitung dengan aktuaria itu belum pas memang,” kata dia.
Fachmi menuturkan, besaran ideal untuk iuran bulanan BPJS Kesehatan sudah dihitung Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Pada 2012, angka untuk penerima bantuan iuran (PBI) idealnya sebesar Rp 27.500. Dihitung lagi dua tahun kemudian, pada 2014 angka PBI idealnya sebesar Rp 36 ribu. Namun, pemerintah menetapkan Rp 23 ribu.
Demikian pula dengan iuran kepesertaan mandiri. Idealnya, besaran iuran bagi penerima manfaat kelas III sebesar Rp 30 ribu per bulan. Kemudian, bagi kelas II idealnya sebesar Rp 60 ribu per bulan. Namun, ditetapkan sejak 1 April 2016, bahwa iuran untuk kelas III sebesar Rp 25.500, untuk kelas II sebesar Rp 51 ribu, dan kelas I Rp 80 ribu.
Itu menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 62 Tahun 2016, sebagai perubahan ketiga atas Perpres Nomor 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan. “Dengan iuran, rata-rata, sekarang belum mendekati angka ideal,” katanya. “Tapi kalau kita mau bicara akademik, sudah ketemu angkanya (ideal).”
Untuk mencapai situasi Jaminan Kesehatan Semesta (universal health coverage) pada 2019 mendatang, BPJS Kesehatan terus memperluas kepesertaan dan peningkatan pelayanan.
Untuk tahun ini, pihaknya mulai melakukan sosialisasi terkait sanksi administratif bagi badan usaha dan individu yang tidak ikut program BPJS Kesehatan. Sanksi itu dapat berupa penundaan perpanjangan izin usaha atau menahan surat administrasi semisal KTP.
Kemudian, untuk peningkatan pelayanan, BPJS Kesehatan terus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai regulator yang membawahi rumah-rumah sakit.