REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan bahwa keluarga besarnya tidak menggelapkan pajak seperti ditengarai dalam dokumen yang dikenal dengan "Panama Papers".
"Semua pajak jelas dan tidak semua yang tercantum dalam 'Panama Papers' itu menggelapkan pajak," katanya di kantor Wapres di Jakarta, Selasa.
Jusuf Kalla menganggap tidak ada yang luar biasa dalam "Panama Papers".
"Apalagi kumpulan wartawan ICIJ (International Consortium of Investigative Journalists) yang menerima dokumen itu memberikan catatan bahwa tidak semua nama yang tercantum 'Panama Papers' melanggar hukum," ujarnya menambahkan.
Selain beberapa nama pengusaha dari Indonesia dan negara-negara lain, dokumen rahasia yang disusun oleh penyedia jasa perusahaan asal Panama, Mossack Fonseca, itu mencantumkan nama-nama keluarga Kalla, yakni Solihin Kalla (anak kandung), Ahmad Kalla (adik kandung), Aksa Mahmud (adik ipar), dan Erwin Aksa (keponakan).
Menurut Wapres, orang membuka usaha di luar negeri itu ada dua kemungkinan, mencari modal usaha dari luar negeri atau menanamkan modalnya di luar negeri.
"Keluarga saya pada awal 2000-an pada saat ekonomi masih sulit membuat perusahaan dengan mencari modal dari luar negeri," ujarnya.
Bahkan, ada keluarganya yang tidak bisa melakukan ekspor karena menggunakan bank dalam negeri sehingga harus membuka rekening bank di luar negeri.
"Jadi tidak ada motivasi untuk menggelapkan pajak karena umumnya pegusaha pada awal 2000-an cari alternatif dan kesempaatan di luar negeri," ujarnya.
Ia menilai apa yang dilakukan keluarganya di luar negeri itu sebagai upaya untuk ikut menyelamatkan perekenomian nasional dari kriris.
"Banyak di antara teman-teman itu sudah 20 tahun bahkan 10 tahun yang lalu berupaya menyelamatkan perusahaan-perusahaan di Indonesia, seperti kasus adik saya. Dia tidak bisa buka LC untuk mengikuti tender di luar negeri," kata Kalla.
Bahkan tidak sedikit pula pengusaha nasional mencari dana di luar negeri untuk memulihkan kondisi perekonomian nasional dari krisis berkepanjangan.
"Jangan lupa, pemerintah juga bikin begitu. Contohnya Petral, walaupun sudah dibubarkan. Ada juga karena persyaratan lain, seperti membeli pesawat. Jadi, tidak semua salah, kecuali jika ada bukti-bukti dia memang berbuat salah," ujarnya.