Jumat 01 Apr 2016 20:56 WIB

Restorasi Gambut di Kawasan Budidaya Perlu Dikaji

Lahan gambut (ilustrasi)
Lahan gambut (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang mengandung unsur kehati-hatian. Karena itu kegiatan restorasi gambut di kawasan budidaya seperti perkebunan kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI) harus menerapkan unsur kehati-hatian agar tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.

Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Padjajaran Daud Silalahi mengingatkan Badan Restorasi Gambut/BRG harus mempertimbangkan kebijakan tata ruang terutama menyangkut peruntukkan kawasan serta pemanfaatan teknologi pada kegiatan ekonomi yang sudah berjalan di kawasan gambut.

“Jika restorasi ‘dipaksakan’ pada kawasan budidaya, akan timbul persoalan baru. Masyarakat dan korporasi yang telah melakukan aktivitas ekonomi di kawasan itu, pasti menolak,” kata Daud di Jakarta Jumat (1/4).

Pemanfaatan teknologi juga harus menjadi pertimbangan pemerintah sebelum menerapkan restorasi gambut pada kawasan budidaya. Jika kawasan gambut sudah terkelola baik karena korporasi yang memanfaatkannya telah menerapkan teknologi seperti water management seharusnya kegiatan restorasi bisa dialihkan ke kawasan lain.

Daud mengatakan hukum lingkungan memang bertujuan melindungi dan mengamankan alam dari kemerosotan mutu dan kerusakan. Namun demikian, harus diakui, saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadi bagian dari solusi untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan tersebut.

"Ilmu pengetahuan, teknologi serta pertimbangan para pakar di bidangnya bisa menjadi salah pertimbangan sebelum merestorasi," kata Guru Besar Hukum Unpad ini.

Menurut Daud, keinginan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi bagi korporasi yang konsesinya berdekatan dengan lahan masyarakat yang terbakar juga dimungkinkan. “Dari berbagai forum diskusi di tingkat internasional dan nasional, hal itu dimungkinkan karena satu atau beberapa sebab yang berkorelasi.”

Hanya saja, kata Daud, hukum harus dilakukan seimbang. Artinya, tidak tertutup kemungkinan pemerintah juga bisa digugat jika lahan masyarakat yang berdekatan dengan kawasan open acces terbakar. “Pemerintah bisa dianggap lalai atau tidak mampu menjaga konsesi yang menjadi tanggung jawabnya.”

Pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Sumawinata menilai jika pemahaman restorasi gambut diterjemahkan sebagai dikembalikan ke awal yakni sebagai hutan rawa gambut bakal menuai  banyak masalah. Persoalan akan timbul karena rantai bahan baku dan kapasitas terpasang pada industri hilir akan terganggu.

“Persoalan ekologi mungkin saja selesai, namun akan berimplikasi menjadi masalah sosial dan ekonomi. Karena itu, pemahaman restorasi yang dimaksud pemerintah harus jelas agar tidak  memicu persoalan baru.” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement