Rabu 30 Mar 2016 17:46 WIB

Kesadaran Melapor Gejala Flu Burung Masih Rendah

Rep: Sonia Fitri/ Red: Winda Destiana Putri
Ilustrasi flu burung.
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi flu burung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesadaran melapor kasus gejala flu burung di masyarakat agar segera ditangani pemerintah masih rendah.

Hal tersebut diakui Ketua Umum Himpunan Peternak Unggas Lokal Indonesia (Himpuli) Ade M Zulkarnain. Menurutnya, sejumlah penyebab menyulut situasi tersebut.

"Ada yang karena kurang informasi, dia tidak tau harus lapor ke mana, atau kalaj tau pun, kantor dinasnya jauh dari lokasi," kata dia, Rabu (30/3).

Tapi kebanyakan penyebab tidak melapor disebabkan kekhawatiran mereka merugi jika dilakukan depopulasi besar-besaran.

Peternak juga tidak yakin jika terjadi depopulasi unggas, akan ada ganti rugi dari pemerintah. Berkaca pada 2013, pemerintah memusnahkan 600 ribu itik milik peternak se-Jawa dan Lampung. Tapi tidak serupiah pun ada ganti rugi yang diberikan. 

Makanya, pemerintah lah yang harus teliti memantau penyebaran flu burung di segala lokasi sepanjang tahun. Sebab ia memprediksi virus flu burung akan makin mengganas di bulan depan.

"Itu karena cuaca, penyebaran di daerah endemik, biasanya kasus tinggi di rentang waktu antara Juni ke Agustus dan November ke Januari," tuturnya.

Ia juga mengusulkan adanya pengetatan lalu lintas distribusi unggas antarpulau agar penyebaran virus tidak meluas.

Terpisah, Direktur Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Ketut Diarmita kepada Republika menerangkan penyaluran ganti rugi unggas terdampak depopulasi akibat flu burung bersifat selektif targeted dan penuh kehati-hatian.

"Penyaluran ganti rugi sampai saat ini baru untuk kasus depopulasi itik di Bekasi, Rp 8 juta lebih," ujarnya. Anggaran DIPA Kementan secara total mengalokasikan dana Rp 7,9 miliar per tahun untuk Kesiagaan Merespons Wabah Penyakit Hewan Menular Strategis dan Zoonosis.

Ia meliputi pengadaan obat dan vaksin Rp 4,2 miliar, pengadaan bahan pelindung diri Rp 1 milyar, Operasional Pengendalian Wabah Rp 2,2 miliar. Pembelian Vaksin Anti Rabies Rp 40 juta, pengadaan obat dan hormon UPT Rp 500 juta.

"Depopulasi masuk dalam pembiayaan operasional," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement