REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan, kasus pembajakan kapal di Filipina yang untuk pertama kalinya ini sedikit berbeda dengan yang terjadi di Somalia pada 2011. Ia mengaku sudah berkoordinasi dengan Menteri Pertahanan Filipina terkait pembajakan tersebut.
Ryamizard mengatakan Indonesia terus memantau setiap yang terjadi pada penyanderaan tersebut. Purnawirawan jenderal TNI tersebut menegaskan agar pembebasan 10 WNI yang disandera tidak perlu dengan memenuhi tuntutan perompak dengan tebusan sebesar 50 juta peso atau Rp 15 miliar apabila memungkinkan pembebasan tanpa membayar.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Luar Negeri, pembajakan terhadap kapal tunda Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang berbendera Indonesia itu terjadi saat dalam perjalanan dari Sungai Puting Kalimantan Selatan menuju Batangas, Filipina Selatan.
"Tidak diketahui persis kapan kapal dibajak. Pihak pemilik kapal baru mengetahui terjadi pembajakan pada tanggal 26 Maret 2016, pada saat menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari kelompok Abu Sayyaf," ujar Jubir Kemlu Arrmanatha Nasir.
Saat ini, Kapal Brahma 12 sudah dilepaskan dan sudah di tangan otoritas Filipina. Sementara kapal Anand 12 dan 10 awak kapal masih berada di tangan pembajak, namun belum diketahui persis posisinya.
Dalam komunikasi Kemlu melalui telepon kepada perusahaan pemilik kapal, pembajak dan penyandera menyampaikan tuntutan sejumlah uang tebusan. Diketahui sejak 26 Maret, pihak pembajak sudah dua kali menghubungi pemilik kapal.