Kamis 24 Mar 2016 21:07 WIB

Jurnalis Diminta Perhatikan Standar Peliputan Terorisme

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Ilham
Jurnalis
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Jurnalis

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, jurnalis harus memperhatikan standar peliputan terorisme. Dewan Pers menilai saat ini masih banyak penayangan dan penyajian berita yang masih kurang memenuhi standar peliputan terorisme.

Yosep menuturkan, pengabaian standar dapat menimbulkan kerugian. Baik bagi publik maupun awak media sendiri. "Misalnya meliput dekat-dekat tanpa memperhatikan perlengkapan keselamatan. Ini tentu berbahaya," kata pria yang akrab disapa Standly itu pada diseminasi peliputan terorisme di Kantor PWI Yogyakarta, Kamis (24/3).

Padahal, kata dia, standar keselamatan merupakan hal wajib yang bahkan harus dipelajari seluruh jurnalis sebagai bentuk peningkatan kapasitas diri. Maka itu, kata Standly, Dewan Pers sengaja menyusun standar peliputan terorisme yang meliputi 13 poin.

Dia pun menyebutkan beberapa poin yang dibuat. Di antaranya wajib mengutamakan keselamatan, menempatkan kepentingan publik di atas tugas peliputan, menghindari legitimasi terhadap terorisme, menghindari pelaporan secara detail yang memunculkan kesan sadis, dan tidak memberi atribusi berlebihan yang dapat mengaburkan fakta atau memunculkan berita bohong.

Selain itu, menurut Standly, wartawan harus menghindari peliputan keluarga terduga teroris, termasuk kasus yang dapat menimbulkan rasa duka dan kesedihan pada diri seseorang. Peliputan terhadap keluarga korban harus dilakukan secara bijak dan arif.

"Jangan orang masih sedih dan berdarah-darah malah diwawancara," ujarnya.

Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI), Wili Pramoedya mengatakan, pengetahuan wartawan akan kode etik peliputan ini masih minim. Pasalnya, dari 62 peserta desiminasi yang notabene pekerja media, ada 52 orang yang belum pernah membaca pedoman peliputan terorisme.

Namun ia menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Karena peliputan terorisme di Indonesia masih menjadi barang baru. Bahkan, baru dimulai setelah bom Bali kedua terjadi. "Sehingga belum ada studi empirik yang dilakukan khusus untuk memformulasikan kode etik peliputan terorisme," katanya.

Meski begitu, ia berharap melalui desiminasi ini wawasan wartawan terkait peliputan terorisme dapat bertambah. Terutama sebagai pegangan pelaksanaan tugas di lapangan.

Sementara itu, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY, Abdul Muhaimin berharap, dengan penyelenggaraan diseminasi, peran media dalam menekan aktivitas teror dapat dimaksimalkan. "Karena tugas mencegah teror bukan hanya menjadi tanggung jawab segelintir pihak. Tapi menjadi tanggungjawab kita semua," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement