REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Salah satu pengemudi taksi Blue Bird di Kota Bekasi, Danis (55 tahun), menilai pemicu gesekan antara taksi berbasis aplikasi dan taksi reguler terletak pada perbedaan harga. Ia berharap, pemerintah membuat regulasi yang mengatur penyamaan tarif taksi berbasis aplikasi dengan taksi reguler.
Kendati Ibu Kota sempat memanas akibat demo sopir taksi, Selasa (22/3) kemarin, menurut Danis, gesekan antara pengemudi taksi berbasis aplikasi daring (online) dan taksi reguler tidak terjadi di Bekasi. "Di Bekasi aman. Nggak ada, soalnya cuma teman sendiri. Yang dari Blue Bird pindah ke Grabcar," kata Danis, yang biasa mangkal di MM Stasiun Bekasi, kepada Republika.co.id, Rabu (23/2).
Danis mengungkapkan, hampir semua sopir di Grabcar adalah bekas pengemudi taksi. Banyak sopir Blue Bird yang pindah ke layanan taksi berbasis aplikasi, seperti Grabcar atau Uber. Sebab, tarif sewa Grabcar lebih murah dibandingkan taksi reguler. Pendapatan sebagai sopir taksi Grabcar dinilai lebih menjanjikan. Masyarakat lebih banyak yang melirik layanan tersebut. "Kalau sama tarifnya, nggak bakalan kayak gini," ujar Danis menegaskan.
Perbedaan tarif inilah, kata Danis, yang menjadi akar gesekan antara taksi reguler dan taksi berbasis aplikasi. Kalau masalahnya hanya perizinan, pengemudi tidak akan terlalu mempersoalkan. Akibat selisih tarif yang tajam itulah, masyarakat lebih memilih taksi berbasis aplikasi hingga pendapatan sopir reguler jauh berkurang.
Ia menambahkan, golongan kelas menengah ke atas pun mengutamakan egoisme dalam mencari harga. Pendapatan taksi reguler kian mengalami penurunan. Tak main-main, Danis mengatakan, penurunan jumlah penumpang mencapai di atas 50 persen. Padahal, tiap hari target setorannya di atas lima ratus ribu rupiah.
Jika dulu ia sudah bisa mengejar setoran dalam waktu setengah hari, sekarang kerja pagi sampai malam baru bisa memenuhi setoran. Karena itu, Danis menegaskan, pemerintah hendaknya mengambil sikap untuk menyamakan harga antara taksi reguler dan taksi berbasis aplikasi.