REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Alviansyah mengatakan sebelum adanya layanan transportasi berbasis daring, masyarakat merasa kesusahan karena harus menanggung biaya yang cukup besar dari angkutan konvensional. Hal ini karena tarif yang berlaku untuk layanan taksi reguler tersebut relatif lebih mahal.
"Saya khawatir tarif untuk layanan reguler ini cukup overpriced dan sebaliknya, yang berbasis online underpriced. Jadi, masyarakat sebagai pengguna transportasi merasa lebih diuntungkan," ujar Alviansyah kepada Republika.co.id, Rabu (23/3).
Alviansyah mengatakan situasi yang menimbulkan polemik semacam ini harus segera diatasi pemerintah. Menurut dia, peninjauan kembali terhadap sarana transportasi umum harus dilakukan agar pelayanan angkutan untuk publik dapat maksimal.
"Kondisi semacam ini merupakan indikator kegagalan pemerintah menyediakan layanan angkutan publik yang baik dan benar. Sudah lebih dari empat dekade sektor ini ditinggalkan, padahal ini kewajiban," jelas Alviansyah.
Ia menjelaskan seharusnya masyarakat bisa mendapatkan layanan angkutan publik yang baik, tanpa perlu mengeluarkan biaya mahal. Selama puluhan tahun, banyak orang yang harus menanggung berbagai layanan publik dengan harga tidak terjangkau.
"Saya mempunyai kesan masyarakat harus membayar overpriced untuk berbagai layanan publik selain transportasi, seperti listrik, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan lainnya yang berlangsung selama puluhan tahun," jelas Alviansyah.